Senin, 25 September 2017

Meminimalisir Buang Sampah Sembarangan yang 'Nggak Disengaja'

Haloooo!

Seperti judulnya, kali ini gue mau kasih tips gimana caranya kita nggak membuang sampah sembarangan secara tidak sadar. Kalimat gue bisa dipahami nggak sih? Hahaha gue sendiri aja bacanya ribet. Yaudah, intinya gitu. Gue kepikiran untuk nulis ini karena gue sering banget ngeliat orang yang minum dari minuman berkemasan kotak, yang terkadang secara 'nggak sengaja' membuang sampahnya sembarangan. Bukan buang kotak minumannya yang sembarangan, tapi buang bungkus sedotannya!

Tau bungkus sedotan kan? Yang bening, terus ditempel di kotak minuman itu lhooo. Biasanya sebelum minum, kebanyakan orang bakal melepas si sedotan beserta bungkusnya dari kotak minumannya. Bungkus sedotannya dibuka, sedotannya ditusuk ke kotak minuman, abis itu lupa deh sama sampah bungkus sedotannya karena 'cuma' sampah yang enteng dan kecil. Coba deh perhatikan sekitar kita kalo lagi di tempat makan, trotoar atau tempat umum lainnya. Pasti ada aja tuh sampah bungkus sedotan, bener nggak? Entah 'gak sengaja' jatuh terus terbang kebawa angin, atau emang males aja buangnya ke tempat sampah karena bentuknya yang kecil jadi dikira nggak apa-apa kalo dibuang sembarangan. Mentang-mentang kecil ini, dia jadi sering diabaikan. Kasian dia.

Orang cenderung lebih 'rajin' membuang sampah kotak minuman beserta sedotan yang masih nyangkut di kotaknya itu ke tempat seharusnya. Sedangkan bungkus sedotannya diabaikan. Nah, sekarang gimana nih caranya supaya kita nggak melupakan si bungkus sedotan itu? Tenang, caranya gampang!

Nah, ini contoh dari minuman berkemasan kotak yang masih utuh. Sedotan beserta bungkusnya masih menempel pada kemasan kotaknya. Btw, ini susu nyolong dari kulkas, gatau punya siapa. :)


 Eiittss! Jangan lepas bungkus sedotan dari kemasan kotaknya. Biarin aja dia tetep menempel mesra. Jadi, yang harus kita lakukan adalah merobek sedikit ujung atas bungkus sedotannya. Jangan sampe robekannya copot ya, nanti jadinya sama aja bohong dong nggak buang bungkus sedotan sembarangan tapi malah buang robekannya sembarangan. Jangan mentang-mentang kecil terus diabaikan ya. :) 

Kalo udah robek sedikit atasnya, kita dorong sedotannya dari bawah untuk mengeluarkan si sedotan.

Hiyaaak, dorong teruuuus!

Nah, udah keluar nih sedotannya dan bungkusnya masih menempel mesra sama kotak minumannya. :)

Siap diminum deh!

Gimana gimana? Gampang kan caranya? Gue yakin, pasti nggak sedikit juga orang yang udah menerapkan cara ini. Gue nulis ini buat berbagi ke orang-orang yang belum tau cara ini, dan siapa tau bisa disebar luaskan juga. Maaf untuk kualitas gambar yang seadanya ya hahaha semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat kita semua. Jangan lupa dishare ke yang lain juga, terimakasiiiih!;)

xoxo,
Sendal 2017.

Sabtu, 18 Februari 2017

Edelweis 98: Cinta Pertamaku di Putih Abu Abu!

Sekitar 3 tahun yang lalu, waktu awal gue masuk SMA, hal pertama yang bikin gue terkesan dengan SMAN 98 Jakarta adalah lingkungannya yang pewe banget! Asli, lapangannya luas, gedungnya bagus untuk ukuran SMA negeri, punya pendopo yang cukup luas untuk nongkrong + ngadem di ujung lapangan, dan yang terutama suasananya yang adem karena ada pohon beringin besar di halaman parkirnya. First impression gue buat 98 waktu itu bener-bener bagus.

Tapi, disamping suasana sekolahnya yang super juara, ada hal lain di pinggir lapangan yang lebih mencuri perhatian gue: wall climbing. Di 98 ada dua wall climbing, yang terdiri dari satu wall climbing yang tingginya setara dengan lantai 3 gedung sekolah, dan yang satunya lagi tingginya setara lantai 2 gedung sekolah. Wall climbing itu warna biru muda, dengan tulisan ‘EDELWEIS 98’ besar-besar.

wall climbing tiga tahun lalu. masih cuma dua, dan masih biru.
sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP6zLgQ2KiP-5G9GYXDL2b3tdCvTAcb6txx2egWhCF75iA810UxlYKvZkpmB4aG2b1EAq-DAKGl0WQaVFUY7epvV2uYCTAGgK39hrIbM3Z5PfysvQ1fXyhpbebUQHcm3AhXKpnfQWGCJQ/s1600/256730_239837182694517_100000047102652_984202_6840105_o.jpg


Wall climbing itu benar-benar berhasil menarik perhatian para murid baru sewaktu expo ekstrakulikuler, karena menampilkan kakak-kakak kelas yang berbaju hitam-hitam melompat dari ketinggian sekitar 15 meter dan berhasil membuat sebagian besar dari kami menjerit ngeri. Tapi justru, mereka yang melompat terlihat tenang-tenang aja. Dan itu keren banget! Saking kerennya, seolah-olah kayak menghipnotis gue buat dateng ke standnya, emang lebay sih tapi serius beneran kayak gitu hahaha. Padahal temen-temen gue nggak ada yang tertarik ikut ekskul ekstrim kayak gitu sama sekali. Tapi gue nggak peduli, nggak pa-pa di awal belum kenal siapa-siapa, nanti juga dapet temen kok.

Gue juga sempet bercanda ke temen gue, tentang anak-anak pecinta alam yang identik pake baju hitam. Gue bilang: “Kayaknya gue cocok masuk pecinta alam, baju gue kan nyaris hitam semua.” Waktu itu, temen gue nggak terlalu nanggepin serius. Tapi ternyata omongan gue terbukti! Baju hitam tuh emang dresscode wajib buat Edelweis, dan gue nggak perlu susah-susah cari baju hitam setiap ada acara karena gue punya bejibun! Hahaha.

Si biru besar itu yang akhirnya membawa gue ada di Edelweis sampe detik ini. Si biru besar yang belakangan ini baru gue tau kalo ternyata yang membangun wall climbing itu ya anak-anak Edelweis sendiri sekitar enam belas tahun lalu kalo nggak salah, dan dibantu sama guru-guru berjasa yang mendirikan Edelweis 98, pake dana pribadi bukan dari sekolah. Jadi bagian dari Edelweis 98 emang bukan sesuatu yang selalu enak. Hidup kami nggak hanya main, nanjak, ngumpul, dan little things lainnya. Di Edelweis kami diajarkan tanggung jawab, berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah, persaudaraan, kepedulian, nggak egois, disiplin, dan masih amat sangat banyak hal positif lainnya. Dan nyaris semua orang pasti tau, kalo belajar hal-hal di atas nggak gampang sama sekali.

Di tahun pertama, buat gue yang waktu itu baru 14 tahun, jadi calon anggota (caang) di Edelweis itu bener-bener nggak gampang sama sekali. Fisik dan mental amat sangat dituntut disini, efeknya seleksi alam yang ada jadi amat sangat ketat. Nggak sedikit yang nggak kuat dan akhirnya keluar dari Edelweis. Waktu awal masuk, angkatan gue (ang 26) jumlahnya ada 33 orang di Edelweis. Tapi pas masa caang selesai, kami diklat dan resmi jadi anggota, angkatan gue tersisa 13 orang. Iya, 20 orang gugur.

Padahal menurut gue, fisik dan mental itu manfaatnya banyak dan udah gue rasain sendiri kok. Namanya juga pecinta alam, kegiatannya di alam dan alam itu nggak pandang bulu, coy! Dia nggak peduli apakah kita kuat atau lemah buat menghadapi dia, kalo dia mau ngehajar ya hajar. Misalnya ketika kita naik gunung, kita harus tau dulu kalau gunung itu bukan mall. Dia nggak punya eskalator, apalagi lift. Selandai apapun trek pendakian suatu gunung, nggak akan selandai jembatan dari PIM 1 ke PIM 2. Kita tetep butuh usaha, fisik yang kuat dan terlatih. Apalagi kalo kita naik gunung sekelas Gunung Cikuray yang pendakiannya dengkul ketemu dada alias manjat tanah sama akar, beuhhh! Kalo nggak latihan fisik, copot tuh jantung. Alam tuh nggak bisa kasih kita ampun, coy. Dia nggak kayak treadmill yang kecepatannya bisa kita tambah atau kurangin seenaknya.

Dan mental, ini juga amat sangat pentiiing! Kalo mental kita cemen, kelar deh kita di alam. Ada yang nggak enak dikit, ngeluh. Apa-apa ngeluh. Nggak bikin masalah kelar malah bikin orang-orang sekitar kita kesel. Ketika mental kita siap dan terlatih, otak kita bakal lebih cepat ketika menyelesaikan masalah yang ada karena kita juga jadi lebih tenang kalo menghadapi sesuatu yang nggak beres. Kayak misalnya pas lagi pendakian tiba-tiba kena badai, kalo mentalnya lemah pasti udah ketakutan dan nangis mojok di tenda. Tapi kalo mental kita kuat, kita bisa aja justru jadi menyiapkan antisipasi-antisipasi supaya efek badai itu nggak terlalu parah buat kita, atau bisa juga berpikir tenang buat ambil keputusan untuk lanjut pendakian atau turun aja.

Gue udah membuktikan sendiri hal-hal di atas tadi. Fisik dan mental yang seimbang emang penting banget. Kalo kita cuma punya mental yang kuat tapi fisik kita lemah, jelas susah karena fisik kita bisa kenapa-napa nantinya. Apalagi kalo kita cuma punya fisik yang kuat tapi mental kita lemah, itu jelas percuma menurut gue karena mental kita yang lemah itu bisa bikin kita jadi sugesti diri kita sendiri bahwa kita nggak kuat, kita bawaannya ngeluuuh terus, nggak semangat padahal sebenernya sih fisiknya kuat. Cuma gara-gara mentalnya cemen aja jadi bisa seolah-olah lemah gitu, dikit-dikit ngeluh. Pokoknya, fisik dan mental di kegiatan pecinta alam dibutuhin banget deh!

Ada lagi satu hal yang juga amat sangat penting di pecinta alam: ilmu! Iya, jelas. Ilmu itu emang penting dimana-mana. Cuma terkadang pas jaman caang tuh ada aja orang yang males-malesan kalo agenda forumnya tuh materi hahaha. Pas lagi diajarin materi suka nggak nyimak, atau bahkan nggak dateng. Padahal pengetahuan dasar tentang alam tuh jelas penting banget. Misalnya survival deh salah satu aja ya. Kalo (amit-amit) kita nyasar di hutan, ilmu survival ini bakal berguna banget karena kita bakalan tau hal apa aja yang mestinya kita lakuin. Makanan apa aja yang bisa kita makan dan yang nggak bisa kita makan di hutan, bagaimana caranya bisa mendapatkan air, daaaan masih banyak lagi! Atau misalnya pengetahuan tentang penyakit-penyakit gunung, kalo ngerti kan kita jadi bisa kasih penanganan yang tepat kalo ada yang sakit. Terus materi tentang navigasi, pertolongan pertama gawat darurat, resusitasi jantung & paru-paru (CPR), dan masih bejibun materi lainnya. Coba kalo nggak punya ilmu? Modal mental dan fisik doang nggak bisa kita andalkan buat menyelamatkan diri kalo ada apa-apa di alam.

Balik lagi ke pengalaman gue di Edelweis, masa caang yang berlangsung selama 8 bulan itu nggak selalu mulus. Masalahnya banyaaaaak banget! Mulai dari masalah sama angkatan sendiri gara-gara banyak yang cabut-cabutan, ada juga yang cinlok di sesama angkatan, pernah ada yang kubu-kubuan juga dan beragam masalah anak kelas satu SMA yang baru belajar organisasi lainnya. Ada juga masalah sama kakak abang kami, sampe dulu setiap ketemu angkatan atas rasanya mau jambak aja! Hahaha nggak deng, nggak semua kayak gitu, ehe. Tapi, semua masalah super nyebelin itu ternyata ada hikmahnya: angkatan gue menyatu. Secara nggak sadar, masalah-masalah yang kami hadapi itu bikin kami saling terbuka dan akhirnya kenal satu sama lain, jadi diantara kami udah nggak ada jaim-jaiman sama sekali. Angkatan kami juga semakin nyatu karena ketika kami punya masalah yang sama, kami mau nggak mau bareng-bareng berpikir dan diskusi untuk menyelesaikan masalah itu.

Tapi, hal yang paliiiiing nyebelin selama masa caang justru datangnya dari eksternal Edelweis. Dari omongan anak-anak umum yang selalu anggap kami itu negatif. Stereotype mereka udah terlanjur jelek ke kami, dan itu amat sangat nyebelin! Titik didih gue sebelum meledak itu ketika ada orang yang menyebut latihan fisik di Edelweis itu ‘penyiksaan’. Sadis. Kalo ekskul lain lari, push up, dan lain-lain di lapangan mereka sebut latihan fisik/olahraga. Tapi ketika kami yang melakukan itu, mereka sebut itu ‘disiksa’. Waktu gue caang, sering banget gue denger anak umum bilang ‘mau aja sih lo dibego-begoin’. Kata-kata kayak gitu biasanya muncul dari orang yang emang nggak suka sama kami dari dulu, atau bisa juga berasal dari orang-orang yang mau menghasut salah satu dari kami untuk keluar dari Edelweis. Tapi, ya udah lah ya, seleksi alam hahaha.

Padahal kalo gue denger cerita dari alumni-alumni yang jaraknya lumayan jauh di atas gue, mereka sering bilang kalo dulu Edelweis itu disegani. Karena zaman mereka itu, yang namanya naik gunung nggak segampang sekarang, nggak sembarangan orang yang mampu untuk naik gunung. Jadi, istilahnya ya mereka dianggap sebagai ‘bukan orang sembarangan’, nggak ada yang berani ngelawan. Bukan cuma sesama murid, tapi dulu pihak sekolah juga selalu bisa bekerjasama dengan baik sama Edelweis, itu dulu. Seriiiiing banget gue denger cerita semacam itu, cerita kejayaan Edelweis, sebelum gerak kami dibatasi aturan-aturan ketat dari sekolah seperti sekarang.

Lanjut ke masa-masa jadi anggota yang berlangsung nggak terlalu lama. Diisi dengan mengenal Edelweis lebih dalam lagi, terutama tentang keorganisasiannya. Karena di tahap ini, kita bakal dipersiapkan sebagai pengurus Edelweis selanjutnya. Menurut gue, masa-masa ini adalah masa paling tenang selama gue di Edelweis karena minim konflik hahaha. Nyaris nggak ada masalah sama sekali! Kami juga mulai berdamai dengan angkatan atas, karena setelah ini kami bakal bekerjasama sebagai pengurus dan pengawas buat mendidik caang selanjutnya.

Nah! Pas mulai masuk ke kepengurusan.......... jeng-jeng! Akhirnya gue ngerasain dan mengerti apa yang kakak abang gue dulu rasain! Iya, akhirnya gue bener-bener ngerti alasan mereka punya aturan ini itu selama angkatan gue caang dulu. Di masa ini, fisik nggak terlalu dituntut lagi. Yang paling paling paling dituntut adalah otak. Otak kita harus kerja, harus dipake untuk berpikir! Emang kedengerannya malesin kalo disuruh mikir terus, tapi kita punya kebanggaan tersendiri karena nasib organisasi besar ini sekarang ada di pundak kita. Kita dipercaya untuk melanjutkan organisasi ini. Dan secara otomatis kita bakal mengerahkan ide-ide dan pikiran-pikiran terbaik kita demi kelangsungan organisasi ini. Hal itu bakal bikin kita semakin terlatih untuk menyelesaikan masalah-masalah, dan mental kita jelas bakal semakin kuat. Yang terpenting, tenang aja karena kita nggak sendiri. Kita punya sodara-sodara di angkatan kita yang bakal bareng-bareng menghadapi semuanya sama kita, dan kita juga punya banyak kakak abang yang siap sedia untuk membantu kita.



Ketika naik ke kelas 12, tanggung jawab kita berubah lagi jadi pengawas. Disini yang dituntut adalah loyalitas. Ketika kami udah harus memikirkan masa depan, harus fokus belajar untuk masuk perguruan tinggi, kami tetap punya tanggung jawab di Edelweis. Kalo kami nggak punya loyalitas, pasti kami bakal lepas tangan dan lebih memilih untuk mikirin diri sendiri aja. Lagipula, tugas pengawas nggak susah kok. Sama seperti namanya: pengawas, ya tugasnya cuma mengawasi aja. Jadi keterlaluan kalo sampe lepas tangan, ehehe. Dan yang terpenting, angkatan gue juga udah membuktikan kalo aktif di Edelweis nggak bikin kami lepas tanggung jawab dari urusan lanjut kuliah. 70% dari ang 26-nya Edelweis masuk PTN, dan sisa lainnya emang memutuskan untuk lanjut masa depannya lewat jalan lain. :p

Btw, berat badan gue turun lebih dari 10kg selama gue kelas 10. Emang sih, faktor berat badan gue turun itu bukan cuma karena ikut Edelweis yang sering latihan fisik itu, tapi juga karena dulu gue ikut OSIS yang bikin tenaga dan pikiran gue terkuras Senin-Jumat (padahal gue sering cabut, jangan ditiru ya) hahaha. Gue nggak ngerasa itu sebagai kerugian sih, kan lumayan gue nggak perlu diet-diet ribet gitu..... lumayan banget kan?

Itu baru beberapa hal kecil yang gue dapet dari Edelweis. Masih banyaaaaaakkkk banget yang sebenernya bisa diceritain. Gue nggak pernah tau gimana gue harus mendeskripsikan Edelweis. Gue cinta banget sama organisasi ini, keluarga ini. Buat gue, Edelweis adalah tempat untuk pulang. Sejauh apapun kita pergi, ketika kita kembali lagi hal pertama yang bakal kita cari ya sodara-sodara kita di Edelweis.

Ah, itu gambaran wall climbing sekitar 3 tahun yang lalu, 2013. Kalo sekarang, wall climbing itu sudah bertambah satu dengan ukuran tinggi yang setara dengan lantai 2 sekolah. Warnanya berubah jadi hijau tua... dan sudah tidak ada tulisan ‘EDELWEIS 98’ yang besar lagi disana. Satu-satunya penanda bahwa wall climbing itu ‘milik’ Edelweis adalah logo organisasi itu yang masih ada di salah satu sisinya. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memberitahu orang-orang bahwa wall climbing itu merupakan bagian dari kami, Edelweis 98. Mungkin nasib wall climbing itu sama seperti orang-orang di dalam organisasi ini. Dulu kami punya nama besar yang terpampang nyata di depan orang-orang. Tapi kini, nama besar itu mulai terkikis... yang tersisa hanya persaudaraan kami yang masih erat, dan semoga tidak akan terkikis. Seperti logo organisasi ini yang masih bertahan menghiasi wall climbing, meskipun tulisan nama kami telah hilang.


Sebagian kecil dari Edelweis 98. Bener-bener sebagian kecil, cuma perwakilan beberapa angkatan.
Kalo digabung dari angkatan pertama sampe sekarang entah ada berapa ratus orang. :')


Ayo, bangun, Edelweis-ku. Jangan layu. Jangan sampai arti namamu tidak memiliki makna apa-apa. Kamu harus bertahan. Kamu harus abadi. Seperti bunga-bunga Edelweis di Alun-Alun Surya Kencana yang terus bertahan meski diterjang badai hebat.

Tiada yang bisa menghalangi kami
Tiada bisa meredam kami
Persaudaraan kami terus abadi
Karena kami Edelweis 98!

xoxo,

Sendal 2017.

Minggu, 12 Februari 2017

Pernah Jadi Calon Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung

Melanjutkan postingan gue tentang perjuangan gue untuk dapet kampus, kali ini gue bakal ngebahas lebih dalam lagi tentang pengalaman gue di salah satu kampus yang gue ikuti ujian masuknya kemarin. Buat yang mau tau apa itu STKS bisa  cek web resminya disini. Sebelumnya, informasi yang gue bakal ceritain disini cuma dari proses gue daftar STKS sampai dengan H-1 daftar ulang. Lebih banyak cerita gue pribadi daripada detail tentang STKSnya. Buat soal-soal ujian tulis bakal gue cantumin link sumber yang gue dapet buat belajar, dan gue juga ceritain tentang proses wawancara. Jangan ekspektasi gue bakal ceritain secara detail seperti apa kuliah disana, okay? Jangan membuka luka lama gue, hih. Tapi gue seneng banget bisa nulis pengalaman ini, karena seru banget! Ya, buat gue pribadi sih seru, banyak dramanya hahaha.

sumber: https://bocahbancar.files.wordpress.com/2013/03/papan-nama-stks-bandung-2013.jpg


Jadi, pertama kali gue tau STKS itu dari browsing waktu gue kelas 11. Waktu itu gue lagi dilema, karena yang tadinya gue mau Kriminologi, tiba-tiba mau ke Sosiologi, eh tiba-tiba tertarik juga ke Kesejahteraan Sosial (Kesos). Jadi lah itu gue browsing kampus mana aja yang punya jurusan Kesos. Ternyata gue malah nemuin sekolah tinggi-nya, dibawahi Kementrian Sosial pula!

Dari situ gue langsung semangat banget nyari info tentang STKS. Jujur aja, info tentang kampus ini di internet tuh minim banget, nggak sebanyak Perguruan Tinggi Kedinasan lainnya. Btw, iya STKS ini kedinasan, tapi nggak ada ikatan dinas yang artinya mahasiswa yang lulus dari sini nggak langsung disalurin kerjanya gitu. Nah, terus gue nanya-nanya deh ke guru BK di sekolah gue. Tapi ternyata belum pernah ada murid dari SMA gue yang masuk ke STKS, bahkan dari sekian banyak guru BK yang ada, cuma Bu Asih yang tau apa itu STKS. Beliau sangat mendukung gue kalo gue emang mau kuliah disana. Terus, beliau kasih tau ke gue kalo ada salah satu guru yang anaknya lulusan STKS. Gue langsung cari guru itu yang notabene gue nggak kenal-kenal amat karena beliau gurunya anak IPA, Pak Khae. Dan dari cerita temen-temen gue, beliau lumayan ‘galak’. Tapi bodoamat lah ya, demi masa depan gue, dijutek-jutekin dikit nggak masalah!

Begitu gue ngobrol sama Pak Khae, ternyata beliau nggak galak kok. Beliau galak emang sama murid yang bikin masalah sama dia aja. Info yang gue dapet dari Pak Khae nggak terlalu banyak, karena beliau nggak terlalu ngerti juga tentang STKS, kebanyakan anaknya mengurus apa-apa secara mandiri. Info penting yang gue dapet adalah anaknya yang begitu lulus dari sana langsung dapet kerja di dinas sosial daerah Jakarta Timur, tapi gue lupa tepatnya dimana. Karena info yang gue dapet dari guru-guru juga nggak cukup, mau nggak mau gue cari tau sendiri lagi. Tapi ya gitu, nggak banyak yang bisa gue dapet karena info tentang kampus ini minim banget.

Setahun berjalan, gue nggak terlalu mikirin STKS lagi karena prioritas gue waktu itu mau masuk Sosiologi UI. Tapi seperti yang gue ceritain di postingan sebelumnya, semuanya nggak berjalan semulus yang gue mau. Akhirnya, gue siap-siap untuk daftar STKS. Di akhir bulan Mei, gue buka web resminya, tapi ternyata pendaftarannya belum dibuka. Berbeda dengan kampus kedinasan biasanya, STKS ternyata baru membuka pendaftaran di awal bulan Juli.

Gue nunggu pendaftarannya buka dengan amat sangat nggak sabar. Begitu hari pertama pendaftaran onlinenya buka, gue langsung mendaftarkan diri. Nggak susah sama sekali, karena cuma mengisi beberapa informasi dasar. Setelah itu, kita mesti bayar biaya pendaftarannya dengan membayar langsung ke teller. Gue agak lupa, kalo nggak salah setelah daftar itu bakal ada nomor semacam kode yang kita kasih ke teller untuk bayar atau pake slip gitu, maaf banget gue beneran lupa hehehe. Pokoknya setelah bayar, kita bakal dikasih kode gitu buat masuk ke pendaftaran selanjutnya. Nah disini baru deh mengisi tentang berkas-berkas gitu.

Setelah proses di onlinenya selesai, ada lagi berkas-berkas yang harus dikirim langsung ke STKSnya di Bandung. Ya, semacam fotokopi ijazah, fotokopi rapot, dan hal-hal semacamnya. Tahap ini jangan sampai lupa, karena takutnya bisa dianggap nggak daftar karena belum mengirim berkas fisiknya. Begitu proses pendaftaran ini selesai, tinggal nunggu aja deh test tertulisnya.

Tentang test tertulis ini gue cari tau dari dua web, yaitu: klik disini dan klik disini juga. Di blog-blog gue dapet soal-soal test tahun sebelumnya. Cuma dari web itu gue bisa belajar, karena contoh soal-soal latihan untuk masuk ke STKS tuh nggak ada sama sekali. Kalo nggak ada dua web itu nggak tau deh gue mesti gimana, buta banget sama apa yang bakal keluar di soal. Yang gue tau paling cuma beberapa pelajarannya aja. Pelajaran yang diujikan ini ada enam: Pancasila, UUD 1945, Pengetahuan Umum Kesejahteraan Sosial, Logika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.

Nah, tips gue buat kalian yang mau daftar ke STKS belajarnya dari soal-soal itu aja. Oiya, tempat pelaksanaan test ini kalian bisa pilih sendiri mana yang terdekat dari tempat kalian. Misalnya gue di tinggal Depok, gue pilih untuk test di Jakarta. Kalo di Jakarta, tempat testnya itu di Kementrian Sosial RI. Kalo kalian milih di Bandung, testnya langsung di STKSnya. Sedangkan di daerah lain, setau gue tempat testnya itu semacam di dinas sosial setempat gitu deh.

Tiba lah hari test tertulis itu. Gue berangkat dengan perasaan amat sangat tenang, nggak sepanik waktu gue mau SBMPTN. Mungkin karena gue pede banget udah menguasai soal-soal latihan tahun lalu. Mungkin juga karena gue udah melewati test neraka macam SBMPTN, jadi udah berpengalaman dan sedikit kebal menghadapi test-test semacam ini lagi. Satu-satunya hal yang bikin gue nggak tenang adalah di hari itu paket data gue abis sedangkan pulsa yang gue beli belum masuk juga. Kalo nggak ada paket data, gimana gue bisa order gojek buat pulang, cuy?!

Gue dateng lumayan kecepetan, jadi gue harus nunggu sendirian duduk-duduk di lobi gedungnya. Daripada gabut, gue ngeliat denah tempat duduk. Lagi-lagi gue lupa berapa pesertanya hari itu, kalo nggak salah sih yang test di Jakarta ada sekitar 600 atau 800 orang. Kami test di satu aula luas di dalam gedung yang kursinya udah disusun jadi beberapa baris sampai jumlah kursinya sesuai dengan jumlah peserta. Nomer peserta menentukan posisi duduk, waktu itu nomer peserta gue 32. Itu artinya gue orang ke-32 yang mendaftar hahaha, serius. Nah, barisan kursi ini tuh sistemnya diurut ke belakang sampai 30 baris. Itu artinya gue ada di baris kedua, shaf kedua pula. Di depan coyyyy, di depaaaannn!

Yang lebih bikin betenya lagi, testnya cuma pake kursi, nggak ada meja. Gue harus menghabiskan waktu dari jam 8 - 12 duduk disitu sambil nunduk ngebuletin jawaban pake papan jalan. Sumpah, pegel banget bangke! Rasanya gue bener-bener mau duduk lesehan di bawah terus kursinya gue jadiin meja gitu biar nggak sakit punggung gue, huft. Dan sebenarnya gue nggak terlalu mempermasalahkan kalo gue duduk di depan dari sekian ratus kursi itu, karena gue nggak bakal nyontek juga. Tapi pas gue selesai ngerjain soal, gue keluar gedung ngelewatin mereka yang duduk di baris-baris belakang dengan posisi duduk mereka yang super seenaknya. Asli, enak banget duduk di belakang. Nggak perlu mikirin takut dianggap nggak sopan karena mereka nggak keliatan-keliatan amat dari depan. Lah gue? Udah pegel setengah mati, tapi harus tetep tau diri lah. Daripada pas gue lolos wawancara terus nanti ada pengawas ujian yang ngenalin gue terus bilang: “Oh kamu yang nggak sopan duduk seenaknya pas ujian tulis? Nggak usah wawancara deh, kamu ditolak.”  Hahaha who knows?

Ngomong-ngomong soal test tulis, gue nggak mau sombong, tapi serius gampang banget buat gue. Karena gue bener-bener belajar dari soal-soal tahun lalu, yang ternyata banyak soal yang sama! Hahaha. Gue saking hafalnya sampe nggak perlu baca soal sampe habis. Dari waktu dua jam yang disediakan di setiap sesi, gue menyelesaikannya cuma dalam waktu 30 menit untuk masing-masing sesi. Dan gue bisa pulang dengan tenang juga dengan perasaan super pede bakal lolos ke tahap wawancara. Asli, gue nggak pernah sepede itu seumur hidup gue.

Untungnya, tebakan gue nggak salah. Waktu pengumuman test tulis dari seluruh Indonesia, gue jadi salah satu orang yang lolos untuk wawancara ke Bandung! Gue seneng banget paraaaaah! Karena gue yakin pasti bakal lolos wawancaranya hahaha. Pengalaman gue ikut dua organisasi yang super menguras tenaga dan pikiran di SMA harusnya nggak mengecewakan dong? ;)

Kebetulan, sebelum pengumuman lolos ke wawancara itu gue juga udah dapet pengumuman SBMPTN yang ternyata gue diterima di Sosiologi UNJ. Tapi karena gue masih pengen banget kuliah di STKS, jadi gue tetep lanjutin aja ikut wawancara. UNJnya bisa nunggu kok. :’)

 Langsung aja ke hari dimana gue berangkat ke Bandung untuk wawancara. Gue naik travel malam, jadi siangnya gue masih sempet untuk main ke sekolah karena temen-temen gue juga lagi disana. Gue juga sempet nanya-nanya sama temen gue yang test masuk polisi tentang pengalaman wawancara dia, meskipun pasti nggak bakal sama. Gara-gara gue yang keasikan main di sekolah, gue hampir aja ketinggalan travel sampe nyokap gue ngomel panjang lebaaarrr.

Gue mau curhat sedikit. Jadi, pas banget waktu gue lagi dalam perjalanan ke travel di daerah Tanjung Barat, gue dapet chat yang bikin nyeseeeeek banget, parah. Selama liburan UN itu kan gue emang lagi deket sama orang. Dia sih udah pasti lolos di kampus yang dia mau karena dia lolos undangan, jadi dia support gue terus buat dapetin kampus. Eh, pas gue mau wawancara dia malah minta udahan. Kesel gak? Maksud gue, kalo emang mau udahan ntar dulu kek gitu, tunggu wawancara gue kelar dulu. Timing-nya nggak pas banget sih! Gue yang udah siap banget wawancara jadi mendadak ngedown banget, asli. Sepanjang perjalanan Jakarta-Bandung, di travel gue cuma bengong-bengong hampir mewek sambil ngeliatin ke luar jendela yang secara amat sangat kebetulan juga lagi hujan. KESEL GAK!??!?!?!??!??!?!

Oke, cukup curhatnya. Ehm.

Begitu sampai di Bandung udah sekitar jam 11 malam, gue dijemput sama sepupu gue. Selama disana gue tinggal di rumahnya. Keluarganya dia lagi di Medan, dan dia juga kebetulan banget beberapa hari itu harus jaga di kantor, dia polisi dan gue nggak ngerti jam kerjanya gimana hahaha. Yang jelas, di rumah itu gue sendirian. Untungnya itu rumah dinasnya dia yang ada di belakang Polrestabes Bandung, tempat dia kerja. Jadi aman-aman aja, ehe.

Besok paginya, sepupu gue itu nganterin gue ke STKS di daerah Dago yang ternyata nggak terlalu jauh dari rumahnya. Cuma sekitar 15 menitan. Gue masuk ke STKS dan akhirnya mengerti kenapa dia disebut kampus biru, karena emang semuanya serba biru. Nggak lama, gue langsung ke papan pengumuman gitu karena banyak orang disana, gue jadi ikut penasaran hahaha. Ternyata itu pengumuman pembagian ruangan wawancara dan jamnya. Gue langsung ke tempat dimana nama gue tertulis.

Begitu gue di depan ruangan wawancara itu, ternyata udah rame juga sama orang-orang yang satu ruangan bareng gue. Gue kenalan sama beberapa orang, dan seru banget! Sebagian besar mereka asalnya dari luar Bandung. Bahkan dari luar Jawa! Ngobrolnya jadi seru banget karena berbagai macam logat jadi satu. Dan gue baru tau emang ternyata peminat STKS itu justru kebanyakan orang luar Bandung sendiri, termasuk anak-anak Indonesia bagian timur yang banyak gue temuin disana waktu itu. Ada yang berangkat sendiri, ada juga yang dianter orang tuanya.

Di kantin gue kenalan sama salah satu anak dari daerah Jawa Tengah yang dateng sama ayahnya. Mereka baru sampai di Bandung pagi-pagi sebelum jadwal wawancara, sengaja supaya nggak perlu cari tempat menginap. Rencananya setelah wawancara, mereka mau langsung pulang hari itu juga. Tapi sialnya karena waktu wawancara yang nggak cukup, anak itu mesti masuk ke kloter wawancara besoknya. Si bapak nanya ke gue dimana dia bisa cari tempat menginap yang murah, tapi sayangnya gue nggak tau sama sekali...

Setelah ngobrol sama mereka di kantin, gue pamit untuk balik ke ruangan gue karena nama gue sebentar lagi akan dipanggil. Dan bener aja, baru gue sampe di depan ruangannya, nama gue langsung dipanggil. Gue pasang ekspresi setenang mungkin. Gue yakin, gue bisa jawab pertanyaan-pertanyaannya. Cuma satu masalahnya, kemampuan bahasa inggris gue cetek! Emang sih, dari info yang gue dapet, wawancaranya nggak harus pake bahasa inggris, tapi bakalan ada saat dimana kemampuan bahasa inggrisnya ditest juga.

Oiya, gue hampir lupa. Sebelum wawancara itu, kita diminta untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada di sebuah lembar kertas. Pertanyaannya itu tentang diri kita sendiri, kayak pengalaman organisasi, kegiatan sosial apa yang pernah kita lakukan, terus kenapa tertarik masuk STKS, dan hal-hal semacamnya. Nah, kertas ini bakalan jadi bahan wawancara  juga.

Pas gue masuk ke ruang wawancara, gue disambut sama tiga orang yang salah satunya gue nggak tau perannya apa dan yang dua lainnya sebagai orang yang mewawancara. Setelah gue duduk di depan dua orang itu, wawancara pun dimulai dengan hal-hal basic tentang gue. Semacam nama, asal sekolah, dan hal-hal dasar lainnya. Terus dilanjut dengan berdasarkan kertas yang gue isi tadi. Pertama kalo nggak salah tentang organisasi. Alhamdulillah gue ikut dua organisasi waktu SMA, dan itu nolong banget! Terutama di pecinta alam, karena jabatan gue lumayan lah ya bagusan dikit, ehe. Terus gue ceritain pengalaman gue di organisasi gitu gitu deeeh. Serius, bagian tentang pengalaman organisasi di wawancara menurut gue bener-bener nolong, jadi selamat untuk kalian yang aktif di organisasi dan mau lanjut kuliah yang ada wawancaranya (meskipun penilaiannya nggak cuma berdasarkan itu sih haha). Nah, setelah itu wawancaranya mulai pake bahasa inggris. Beliau nanya dulu gue mampu atau nggak untuk ngobrol pake bahasa inggris, dan gue jawab ‘sedikit’. Jadi, beliau nanya tentang keluarga gue dan apakah di keluarga gue ada yang bergerak di bidang sosial juga atau nggak. Terus beliau juga nanya gue tau STKS darimana, pas gue jawab gue tau sendiri berkat browsing beliau nggak nyangka juga karena kebanyakan yang daftar disitu karena direkomendasi orang sekitarnya atau bahkan dikirim sama pemdanya masing-masing untuk belajar di STKS. Beliau lebih nggak nyangka lagi ketika gue bilang di SMA gue udah meluluskan 27 angkatan dan nggak ada satu pun yang pernah masuk STKS. Beliau bilang menurut dia, gue seniat itu buat masuk kampus itu hahaha. Selanjutnya beliau nanya tentang kegiatan sosial yang pernah gue lakuin. Hal lain yang ditanya adalah pengetahuan gue tentang kesejahteraan sosial dan apa tujuan gue di bidang kesos ini. Dan yang terakhir, gue ditanya gimana kalo misalnya gue menemukan ada masalah tentang kampus yang bisa bikin gue nggak nyaman kuliah disitu, langkah apa yang bakal gue lakuin untuk menghadapinya. Pas bagian terakhir ini, gue agak ribet pake bahasa inggris jadi gue minta izin pake bahasa indonesia aja hahaha. Gue jawab intinya gue bakal coba ngomong sama yang berwenang di kampus kalo gue ngerasa ada yang nggak beres. Yang sempet bikin gue agak mikir adalah ketika beliau bilang ‘kamu nggak akan ngeshare permasalahan itu di media sosial?’ sambil agak senyum gimana gitu haha. Waktu itu gue jawab nggak, karena menurut gue kan masalahnya di internal kampus, kalo di medsos gimana bisa selesai masalahnya? Tapi setelah gue sekarang jadi mahasiswa, gue ngerasa perspektif gue agak sempit waktu itu hahaha. Menurut gue, dibagian wawancara ini hal lain yang terpenting adalah alasan untuk masuk STKS harus bener-bener meyakinkan dan kalian bisa memperlihatkan itu sampe beliau percaya dengan keyakinan lo. Gue juga sempet ditanya berapa persen gue yakin bakal lolos di STKS, yang gue jawab 98% dan gue beberkan alasannya. Inget, harus meyakinkan!

Begitu wawancara selesai, gue langsung pesen gojek. Rencananya mau langsung balik ke rumah sepupu gue itu, tapi kayaknya Bandung terlalu sayang untuk dilewatkan *halah*. Pas diperjalanan, gue ngelewatin Bandung Indah Plaza dan memutuskan untuk mampir. Gue update di path, dan temen lama gue yang ngekost di Bandung ngajak meet up, yay! Padahal tadinya gue mau langsung pulang ke Depok setelah wawancaranya selesai, tapi karena gue udah lama banget nggak ketemu temen gue itu jadinya gue menjelajah Kota Bandung yaaaay! Nyokap gue udah nelfon-nelfon nyuruh pulang, tapi untungnya kebetulan travelnya juga waiting list jadi gue dibolehin untuk disana satu hari lagi.

Tapi, drama baru dimulai. Gue yang lagi seneng-seneng main disana, tiba-tiba ditelfon nyokap lagi. Dan gue super kesel denger apa yang nyokap gue bilang, asli kesel banget. Nyokap gue tiba-tiba bilang kalo gue kuliah di UNJ aja, kalo keterima di STKS nggak usah diambil. Iya, tiba-tiba nyokap nggak ngizinin gue padahal gue udah sampe ke tahap ini. Gue udah selesai jauh-jauh wawancara ke Bandung dan tiba-tiba baru dibilang nggak diizinin. Kesel nggak sih woeee?!?!? Maksud gue, kalo emang nggak ngizinin kenapa nggak dari awal aja gituuuuu, hft. Tapi gue nggak segampang itu untuk nurut, pasti.

Nah, pas tanggal pengumuman gue bangun agak siang. Pas gue buka whatsapp, sepupu gue yang di Bandung itu ngechat gue untuk ngucapin selamat karena gue lolos! Gue langsung ngecek webnya dan bener, gue lolos. Gue langsung ngobrol sama ortu gue, dan nyokap tetep nggak ngizinin gue sedangkan bokap ngebebasin aja. Setelah nego segala macem, akhirnya gue diizinin tapi dengan berat hati hahaha.

Pengumuman kelolosan itu mepet banget sama tanggal daftar ulangnya. Kalo nggak salah jaraknya nggak sampe seminggu. Gue jelas buru-buru buat nyiapin semua perlengkapannya, gue juga udah cari tempat kost segala macem. Rencananya gue bakal berangkat ke Bandung hari Minggu, dan Senin-nya langsung daftar ulang. Selama nunggu hari H gue berangkat, gue ngobrol sama orang-orang terdekat gue. Dan obrolan-obrolan itu bikin gue goyah. Goyah banget. Mereka kasih gue banyak alasan untuk pilih UNJ aja.


Gue mau curhat colongan lagi. Ada yang cara ngelarang gue ke Bandung-nya paling kampret. Selama SMA kan gue ikut pecinta alam, mereka deket banget sama gue bener-bener kayak sodara. Terus pernah gue sakit perut banget garagara menstruasi, gue langsung minta tolong salah satu dari mereka (Dimas) buat beliin jamu khusus sakit karena menstruasi gitu deh. Cari tukang jamunya sampe muter-muter pake google maps segala pula. Terus pas udah kebeli dia bilang: “Coba bayangin kalo lu di Bandung ntar, mana ada temen yang mau beliin jamu ginian sampe muter-muter, cowok pula!” dan gue setuju sama omongannya sih hahaha.

 Pertimbangannya banyaaaak banget. Gue jadi kayak langsung kepikiran, ternyata yang nggak mau gue di Bandung bukan cuma nyokap gue aja. Semaleman gue mikir, merenung abis-abisan. Dengan segala pertimbangan dan alesan yang nggak bisa gue ceritain, yang jelas bukan karena omongannya Dimas. Akhirnya gue pilih UNJ.

Besoknya, sepupu gue dateng untuk jemput gue. Tapi, di H-1 daftar ulang itu akhirnya gue memutuskan untuk batal kuliah disana. Drama lagi. Nangis sampe sesenggukan parah. Gue males ceritainnya saking dramanya hahahaha. Sedih banget kalo diinget, tapi mungkin emang takdir gue nggak disitu. Gue nggak mau egois buat ngotot nurutin kemauan gue buat kuliah disana, gue harus mikirin orang-orang sekitar gue juga. Tapi ya nggak bisa bohong sih, sedih banget, cuy! Asli, cerita untuk masuk ke dunia perguruan tinggi tuh emang penuh drama. Amat sangat banyak drama. Tapi satu yang gue mengerti dari cerita ini, bahwa masa depan gue bukan cuma milik gue sendiri karena kita nggak hidup sendirian. Banyak orang terdekat di sekitar gue yang jauh lebih penting gue utamakan daripada ambisi pribadi gue sendiri. Lagipula, yang gue jalanin sekarang juga jurusan yang gue suka, jadi gue bisa enjoy. Untuk sukses nggak cuma punya satu jalan, kan?

Semangat untuk temen-temen semua yang masih berjuang untuk dapetin kampus yang diinginkan! Semoga drama yang akan/sedang kalian jalani sekarang bisa lewat dengan mudah ya, jangan kebanyakan menguras air mata, capek soalnya. Mending tenaganya buat usaha dan doa, deh. Apapun almamaternya, kalo bidangnya sesuai dengan passion kita, pasti ngejalaninnya juga enak kok! Semangaaatttt!

xoxo,
Sendal, 2017.