Minggu, 06 Januari 2013

Alasan

Inspirasi emang bisa dateng dimana aja. Nah ini gue dapet dari inspirasi dadakan gue dan saat itu nggak ada laptop, komputer, kertas, pulpen atau benda lain buat menuangkan isnpirasi itu. Daripada keburu lupa, ya gue bikin di handphone. Jadi maaf kalo banyak typo. Nanti insyaallah ada sequelnya;;)

***

Rumahku mulai penuh sesak oleh orang-orang yang berdatangan. Oh, sebenarnya hanya ruang tamuku saja yang dipenuhi orang-orang. Hari ini ada acara doa bersama setelah satu tahun ibuku meninggal.

Ya, ibuku sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu aku masih kelas sepuluh. Sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ayahku karena aku anak tunggal.

Aku menatap kesibukan di ruang tamu dari lantai dua rumahku tanpa berniat untuk menolong mereka yang sedang kerepotan. Bukan karena apa-apa, tapi aku tidak mungkin muncul di tengah keramaian saat aku belum mandi seharian hahaha! Oke, sebaiknya aku mandi sekarang karena pengajiannya akan segera dimulai.

***

Pengajian hari ini selesai dan sekarang aku sedang membantu beberapa saudaraku untuk membagikan bingkisan pada orang-orang yang sudah datang.

"Ssstt... Sivia!" aku menoleh ke asal suara yang memanggilku, Ify. Aku memberi kode agar Ify menunggu aku menyelesaikan tugasku dulu.

Setelah selesai membagikan bingkisan-bingkisan itu, aku langsung menghampiri Ify. Ify adalah tetanggaku sekaligus sahabatku sejak kecil.

"Apa?" tanyaku.

"Itu siapa?" Ify menggedikan dagunya ke arah dua orang cowok yang sedang mengobrol di halaman rumahku, sedangkan posisiku dan Ify ada di teras. Cukup jauh dari dua cowok itu.

"Oh... Itu sodara gue, Mas Alvin sama Mas Cakka," jawabku.

"Mereka kembar?"

Aku tertawa mendengar ucapannya, "sebegitu miripnya ya? Nggak kok, mereka emang kakak-adik yang mirip banget. Mereka juga punya kakak cewek yang mirip banget sama mereka, namanya Kak Angel."

"Mereka semua kelas berapa?" tanya Ify lagi.

"Ng... Kak Angel baru lulus kuliah dan langsung kerja di perusahaan asing gitu. Kalo Mas Alvin kuliah semester dua, Mas Cakka kelas dua belas."

"Gue nggak nyangka lo punya sodara yang ganteng-ganteng gitu, kenalin ke gue kek, Vi!" seru Ify dengan nada bercanda.

Aku menghela nafas, "jangankan ngenalin ke lo, gue aja jarang bahkan nyaris nggak pernah ngomong sama mereka!"

"Serius? Sodara macem apa kalian?" Ify memasang wajah heran.

"Apaan juga jadi deh!"

***

Hampir jam sebelas malam dan aku belum bisa tidur. Jadi kepikiran sama omongan Ify tadi sore.

Mas Alvin. Saudaraku yang satu itu emang cuek, tapi kayaknya cuma cuek sama aku. Malahan adiknya, Mas Cakka, juga ikut-ikutan cuek sama aku. Padahal kalo sama saudara cewek yang lain mereka biasa aja. Aku nggak tau salahku apa ke mereka. Tapi... Mereka kayak benci banget sama aku.

Jujur, aku suka sama mereka. Suka bukan dalam arti jatuh cinta, ya. Tapi ya suka aja. Aku mauuu banget punya kakak cowok. Apalagi kalo yang jadi kakak aku mereka, pasti seneng banget deh...

Haha aku cuma menghayal. Sampai kapan pun mereka bakalan tetep jauhin aku dengan alasan yang nggak jelas.

***

3bulan kemudian...
Hari ini ayah pulang cepet. Nggak biasanya. Aneh sih, bisa makan malem bareng ayah. Biasanya kan aku cuma ditemenin Bi'Muji atau terkadang Ify yang main ke rumahku.

"Ehm, Via," ayah menghentikan makannya.

"Kenapa, yah?"

"Kalo misalnya ayah nikah lagi... Gimana?"

Aku terdiam sebentar. Ehm, bener kan? Ada yang aneh. Aku jawab apa ya?

"Gimana, Vi?" tanya ayah lagi.

"Tergantung. Sama siapa?"

"Kamu pasti kenal orangnya."

"Siapa?"

"Tante Zahra, kenal kan? Adiknya Budhe Irva."

Aku tertegun. Aku memang mengenal dua nama itu. Budhe Irva itu adalah ibu dari Mas Alvin. Dan Tante Zahra memang adiknya Budhe Irva, aku sudah kenal dari kecil. Tante Zahra adalah perempuan yang mapan dan cukup baik. Ya, nggak ada salahnya kalo dia jadi ibu tiriku.

"Iya deh, yah. Nggak pa-pa," ujarku seraya tersenyum.

***

Waktu terus berjalan. Nggak terasa, bulan depan ayah menikah dengan Tante Zahra. Agak canggung juga kalo harus manggil Tante Zahra dengan sebutan 'ibu' atau semacamnya. Dan untungnya Tante Zahra nggak keberatan kalo aku tetep panggil Tante meskipun udah nikah nantinya.

Dan kamu nggak usah bingung kenapa ayah bisa menikah sama Tante Zahra yang notabene masih ada hubungan saudara.

Ya, kami memang bersaudara. Tapi sebenarnya kami tidak memiliki hubungan darah. Bisa dibilang kami ini saudara jauh, aku juga sebenarnya nggak mengerti sejarahnya. Tapi ya, begini lah.

Dan dalam jangka waktu satu bulan lagi, aku resmi sepupuan sama Mas Alvin dan Mas Cakka! Semoga mereka nggak cuek lagi sama aku...

***

Nggak terasa, hari ini ayah dan Tante Zahra nikah! Yaaa, akhirnya ayah punya pendamping hidup lagi.

Pagi ini aku berangkat bareng ayah ke tempat akad nikah, saudaraku yang lain berangkat dengan mobilnya masing-masing. Sedangkan Tante Zahra dan keluarganya udah sampai duluan disana.

"Via, baju kamu udah di mobil kan?" tanya ayah.

"Oh dipake disana, yah? Aku kira langsung dipake dari rumah. Yaudah ayah duluan ke mobil aja," seruku dari dalam kamar.

Beberapa saat kemudian aku keluar dari kamar membawa koper kecil berisi dress, sepatu, baju ganti, iPad dan kamera DSLR-ku untuk mendokumentasikan pernikahan ayah nanti.

***

Sekitar 45menit kemudian aku sudah sampai di lokasi akad nikah yang bersebelahan dengan gedung resepsi.

"Make-up dulu baru ganti baju, Vi. Ruang make-upnya dibelakang pelaminan," ujar ayah. Aku hanya mengangguk. Lalu membawa koperku ke ruangan yang ayah tunjuk tadi.

***

Aku masuk ke ruang make-up sekaligus ruang ganti tersebut. Sudah ada dua orang yang ditugaskan untuk mendandani keluarga mempelai. Sedangkan perias pengantin berada di ruang sebelah.

"Via! Ayo sini make-up, abis itu ganti baju baru tata rambut," ujar Budhe Irva. Aku baru sadar kalo ada Budhe Irva, hahaha.

Aku mengangguk dan duduk di depan meja rias itu. Sejujurnya, aku agak terpaksa pake dress dan high heels. Di tambah make-up ini... Aku nggak pernah suka hal-hal kayak gini, tapi ya demi ayah deh.

Perias tadi mulai mendandani aku dan orang itu menyuruhku untuk menutup mata selagi dia merias. Sekitar 15menit kemudian orang itu menyuruhku membuka mataku.

***

Ya Tuhan! Siapa yang ada di cermin ituuu? Aku? Aku nggak secantik itu! Jadi itu siapa? Hantu?

"Yak, sentuhan terakhir, lipstik!" seru perias tadi.

Aish, ini bagian yang paliiiiing aku nggak suka! Bakalan ada benda aneh yang menempel dibibirku, err...

"Nah, selesai!"

Ng... benda ini bener-bener menempel dibibirku sekarang. Aku bersumpah, kalo aku nemu tissu bakalan langsung aku hapuuus!

Aku hanya tersenyum sebagai terimakasih pada perias tadi dan masuk ke ruang ganti untuk mengganti bajuku. Dress selutut dengan lengannya yang panjang. Mirip gaunnya Kate pas nikah sama Prince Willam gitu, hahaha. Ya bedanya kalo gaunnya Kate kan panjang, kalo aku cuma selutut hehehe.

Aku keluar dari ruang ganti dan langsung duduk lagi di depan meja rias, saatnya tata rambut!

"Rambutnya mau diapain? Di konde aja, gimana?" tanya perias tadi.

"Eeeh! Nggak, nggak! Ng... Digerai aja deh," seruku langsung. Nggak kebayang kalo aku dikonde, rambutku bisa kayak akar kerasnya gara-gara disemprot hairspray!

"Kalo digerai biasa aja dong? Agak dicurly, mau nggak?" tanyanya lagi.

Iya juga sih, kalo digerai doang biasa aja. "Boleh deh."

***

Yak! Selesai! Aku menatap puas ke arah cermin. Make-up natural, rambut sebahu yang sedikit dicurly dan dress sederhana yang menawan. Haha, bukannya aku narsis. Tapi ya, aku ngerasa lebih percaya diri. Ini bukan aku yang biasanya, meskipun sebenernya aku nggak terbiasa pake dress, make-up dan high heels. Tapi ya, sekali-sekali nggak pa-pa deh!

Iseng, aku ke ruang sebelah. Ruang make-up pengantin. Aku menggeret koperku sambil menjinjing sepatu ketsku yang tadi aku pakai berangkat ke tempat ini.

Begitu aku masuk, Tante Zahra langsung menoleh.

"Ya ampun, Via! Kamu cantik banget loooh," serunya dengan mata berbinar.

Aku tertawa, "Tante berlebihan deh!"

"Beneran, coba dari dulu kamu feminim, Vi," Tante Zahra tertawa kecil.

"Tau nih, Via. Dibilangin kamu tuh aslinya udah manis, kalo feminim pasti tambah cantik deh," ujar ayah.

"Iiih ayah ikut-ikutan aja! Udah ah aku mau liat-liat dulu, nitip tas ya, yah!"

***

Aku mengalungkan kamera berlabel Nikon itu dileherku, sesekali aku membidik ruang resepsi dari beberapa arah. Setelah itu aku keluar dari gedung dan memfoto gedung itu.

"Sivia?" aku mendengar seseorang menyebut namaku dengan agak ragu, aku tau pemilik suara itu. Aku langsung menoleh.

"Ya ampun, ini beneran elo, Vi?! Cantik banget, gilaaaa!!!!" seru orang itu. Ify.

"Nggak usah lebay deh. Lo juga seperti biasanya, cantik!"

"Iya, gue kan emang cewek. Nah kalo lo kan diragukan..." ledek Ify.

"Enak aja!"

Aku memang meminta Ify untuk datang lebih pagi daripada tamu lain, dia bahkan berangkat dengan mobilnya sendiri. Emang bener-bener sahabat yang baik deh, hahaha!

"Vi, ada Mas Cakka sama Mas Alvin nggak?" tanya Ify.

"Yeee dasar lo!"

***

Akad nikah sedang berlangsung, sedangkan aku sibuk mengabadikan momen-momen langka ini.

***

Meskipun sudah menyewa fotografer profesional, ayah tetep meminta aku untuk mengabadikan momen ini! Jadi ya nggak pa-pa kalo aku sibuk mondar-mandir padahal yang lain duduk manis hahaha.

Aku kira, cuma aku dan fotografer itu yang sibuk mondar-mandir. Ternyata... Mas Alvin juga sibuk membidik dari berbagai sudut. Dan nggak jarang dia ada di dekatku.

Ng... entahlah. Aku ngerasa agak salting, atau gugup mungkin? Ya ampun, jangan-jangan aku beneran suka sama Mas Alvin dalam arti kata sebenarnya! Ah, semacam brother komplex? Ada-ada aja! Dia aja cueknya setengah mati, kalo aku beneran suka yang ada sakit hati terus!

Udah deh, Via. Nggak usah mikirin itu. Mikirin Mas Alvin emang suka bikin kesel sendiri.

***

Sekarang saatnya resepsi, semakin siang tamu semakin banyak yang berdatangan. Dan nggak jarang ada artis-artis sosialita. Yayaya, Tante Zahra emang sosialita yang bergaul sama beberapa artis juga. Jadi ya, nggak heran.

Dari sekian banyak tamu, sebagian besar bilang aku cantik. Baiklah, mereka bilang aku cantik cuma pas aku feminim aja. Berarti kemarin-kemarin aku gimanaaa?! Err...

Tiba-tiba Ify menyikut pinggangku. "Apasih?" tanyaku.

"Lo ngundang temen sekolah selain gue, Shilla, Prissy sama Febby ya?"

"Nggak. Temen gue yang gue undang cuma kalian. Tapi yang fix dateng cuma lo sama Prissy doang kok. Kan lo tau sendiri!"

"Lah itu anak kenapa disini?" Ify memandang ke arah pintu masuk.

Aku tercekat. Rio! Kenapa dia bisa disini?

"Dia dateng sama bokap nyokapnya, Vi. Apa mungkin relasi bokap lo?" Ify berusaha menebak.

Aku berusaha mengingat. Keluarga Haling. Ya, aku ingat! Ayah Rio memang salah satu relasi ayahku. Sialan.

"Iya, Fy. Bokapnya relasi bokap gue," ujarku.

"Yaampun, Jakarta sempit amat sih!" gerutu Ify.

Ify aja segitu keselnya, gimana aku? Sebenernya kalo Rio cuma temen sekolah biasa sih nggak pa-pa!

Tapi Rio itu salah satu The Most Wanted Boy di sekolah. Dia kakak kelasku. Dan dia... well, dia mantan pacarku. Baru sebulan yang lalu aku putus. Ya, putus karena dia yang terlalu genit sama cewek! Mentang-mentang jadi idola ya seenaknya gitu, lupa deh kalo punya pacar. Karena nggak tahan yaudah aku bubarin aja.

Tapi Rio masih bersikukuh kalo kita belum putus. Katanya, kalo putus cuma sepihak itu nggak sah. Dan dia masih menganggap aku pacarnya, kelakuannya di sekolah pun suka berlebihan, sok mesra nggak jelas. Cewek lain mungkin suka diperlakukan kayak gitu, tapi aku malah muak!

Dari sudut ruangan tempat aku dan Ify duduk di bangku yang berjejer, aku menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam.

Aku tau banget, Rio nggak tertarik buat ikutan acara orang tuanya. Apalagi yang berhubungan sama bisnis, dia seakan alergi sama itu semua. Tapi kenapa sekarang dia ada disini? Rio pasti tau yang nikah itu ayahku, kalo dia nggak tau, dia nggak bakal sudi dateng ke acara pernikahan relasi bisnis orang tuanya!

"Dia jalan kesini, Vi," ujar Ify.

"Iya. Gue tau. Lo liat aja kalo dia macem-macem gue apain tu anak!"

Dan benar. Kedua orang tua Rio sibuk dengan rekannya yang lain, sedangkan Rio berjalan ke arahku dan Ify. Cowok itu tersenyum dan memandang tepat di manik mataku, aku sedikit mengangkat dagu dan membalas tatapannya seolah menantang cowok itu.

"Hai Ify!" sapa Rio. Ify hanya memandang sinis dan berlalu pergi.

"Emang mesti kayak gitu ya caranya ngusir temen kamu itu," ujar Rio.

Aku tidak mengucapkan apapun, aku terus memandangnya dengan tatapan tajam.

"Oh hai, dear. Ngeliatinnya nggak usah gitu, jangan buat aku khilaf, oke?" ujarnya lagi dengan nada kalem.

Aku membulatkan mataku. Kalimat jangan-buat-aku-khilaf itu maksudnya apa?!

"Temen kamu aja diundang, kenapa kamu nggak ngundang aku?" Rio mengalihkan pembicaraan.

Duh, siapa elo? Pengen banget gue undang sih!

Rio mulai meraih tanganku dan jelas aku menepisnya.

"Kamu kenapa, darl?" tanya Rio dengan suara rendah yang lembut.

Aku berpura-pura mau muntah begitu mendengar panggilan-panggilan sok romantisnya itu. Dear, darl, abis ini apa lagi?!

Emangnya dia kira aku kayak cewek-cewek yang biasa dia godain? Meskipun harus diakui, hari ini Rio keliatan cocok dengan kemeja putihnya dan suaranya emang kedengeran... err.. yaaah begitulah.

Rio terlihat menyeringai, "Via. Kamu nggak kangen sama aku?"

ERRR PLIS SIAPAPUN TOLONG GUE YANG PUNYA GOLOK, KAMPAK, CELURIT ATAU APAPUN ITU YANG BISA BIKIN COWOK MENJIJIKAN INI LANGSUNG MATI!

"Ngomong-ngomong, kamu cantik banget, Vi," ujar Rio lembut.

Kali ini cowok itu merangkum kedua pipiku dengan telapak tangannya dan aku nggak menepis sama sekali. Bukan. Bukan karena aku suka diperlakukan kayak gini sama Rio, tapi aku ngebayangin Mas Alvin yang ngelakuinnya.

"Dan kamu terlihat lebih cantik kalo diliat sedeket ini," ucap Rio.

Seakan tersadar, aku langsung menepis tangannya. Ya ampun, emangnya sedeket apa aku sama Rio? Bahkan aku bisa ngerasain nafasnya... Beruntung perbuatannya tadi nggak menarik perhatian orang-orang.

Rio tersenyum miring. Sialan! Dia ngetawain aku? Atau gimana? Dasar cowok muka tembok!!!!! Oke, kesabaranku habis!

"Lo mau ngapain sih, Yo?! Gue udah bukan siapa-siapa lo lagi. Berhenti gangguin gueee!!!" gertakku dengan suara rendah. Aku nggak mau merusak acara penting ayah.

"Oke. Gue nggak bakal ganggu lo lagi, tapi lo bisa nemenin gue jalan kan? Hari ini aja. Terakhir, darl," Rio memasang tampang serius.

Err.. kenapa Ify tadi pake kabur segala sih?! Aku harus jawab apaaa?!

"Terakhir, Vi. Gue udah ngemis-ngemis gini sama lo, masih lo tolak juga?"

Aduh ini cowok kok jadi lebay gini sih. Menjijikan. Well, daripada dia semakin menjijikan lebih baik aku terima aja deh. Terakhir, Via. Nggak masalah!

"Oke. Tapi tunggu acara ini selesai. Gimana?"

"Selesai jam berapa?" Rio melingkarkan lengannya dibahuku.

"Tiga jam lagi," jawabku sambil berusaha menepis tangannya.

"Jangan nolak, Vi. Seharian ini kamu punya aku," ucap Rio.

Aku kontan melotot, kamu-punya-aku? Dari Hongkong kali! "Heh, nggak ada perjanjian kayak gitu tadi!"

"Tapi kamu udah bilang iya."

"Lo tadi cuma minta gue nemenin lo jalan dan gue cuma bilang iya!"

"Justru karena kamu cuma bilang 'iya' kamu nggak bilang 'iya aku nemenin kamu jalan' jadi ya terserah aku mengartikan kata 'iya' itu mau kayak gimana," jelasnya.

"Yayaya. Terserah lo!"

***

Aku masuk ke dalam ruang ganti. High heels ini bikin kakiku pegel setengah mati. Lebih baik aku pake kets tadi deh. Senggaknya warna sepatu kets dan dressku cocok. Sama-sama putih.

Aku keluar dari ruang ganti dengan sepatu ketsku. Menemui Rio yang menunggu diluar sedaritadi.

Rio tersenyum saat melihat heelsku berganti dengan kets. Dia nggak komentar apa-apa dan dengan cueknya menggandeng tanganku.

"Kayaknya makanannya enak-enak. Kamu udah makan?" tanyanya, aku cuma menggeleng.

"Mau makan apa?" Rio bertanya lagi dan aku menggeleng lagi.

Sebenernya laper juga sih. Tapi jadi nggak nafsu makan kalo ada lo, Rio!

Aku menyisir tempat ini dengan pandanganku, dan tatapanku terhenti tpada stand dim sum.

Bukan karena nafsu makanku yang sudah kembali, tapi karena ada Mas Alvin di dekat standnya! Mas Alvin keliatan lagi ngobrol sama seorang... cewek. Ashilla.

Cewek itu bukan salah satu dari keluarga besar kami, tapi ya masih ada hubungan silahturahmi. Dan aku cukup tau tentangnya. Gadis anggun, manis, kalem khas gadis Jawa.

Aku juga keturunan Jawa, tapi nggak kayak Ashilla. Aku nggak anggun, aku juga bukan cewek yang bersikap manis, dan aku bukan cewek yang kalem. Ya, aku agak... ekspresif?

"Via! Bengong?" Rio menepuk bahuku.

"Eh, nggak! Ng... Yo, gue mau makan dimsum."

"Oh, oke." Rio menariku ke stand dimsum dan dia masih menggenggam tanganku.

Rio menyerahkan seporsi dimsum untukku. Aku hanya menggenggam piring itu dengan kedua tangan dan aku masih sibuk memperhatikan Mas Alvin lewat sudut mataku.

Orang yang resmi jadi sepupuku sejak hari ini, orang yang 4tahun lebih tua diatasku, Mas Alvin. Ya, dia cukup memikat hari ini.

Aku menghela nafas. Mas Alvin... Kapan sih dia bisa 'ngeliat' aku?

***

Acara selesai. Setelah pamit sama ayah dan Tante Zahra, Rio langsung membawaku ke basement. Dia membawa mobil yang berbeda dengan orang tuanya. Dan orang tuanya sudah pulang sedaritadi.

Basement gedung ini sudah sepi hanya tersisa beberapa mobil.

"Tunggu, kita mau kemana?" aku berusaha was-was.

"Tempat untuk bersenang-senang, mungkin?"

"Yo, serius!"

"Dufan? Nggak. Bukan Dufan. Hmm... kita ke Marriot."

Marriot? JW.Marriot maksudnya?! Untuk apa?! Otomatis aku melepas genggamannya ditanganku.

"Nggak. Marriot mana pun yang lo maksud, gue nggak mau ikut."

"Kenapa, sayang?" Rio kembali meraih tanganku dan kali ini sedikit lebih kasar.

"Karena gue rasa lo psikopat," ujarku dengan nada tenang. Bodoh. Dalam keadaan kayak gini masih bisa-bisanya aku nantang dia.

Rio menyeringai, dia menarikku ke mobilnya. Dia menahan tubuhku di pintu Juke-nya itu.

"Ya... Bisa dibilang gue psikopat, eh nggak deh. Gue cuma rada-rada miring aja. Dan itu gara-gara lo!" ucap Rio dengan suara rendahnya. "Sadar nggak kenapa gue kecentilan sama cewek-cewek itu? Ya itu salah lo! Gue sukanya sama lo, tapi lo terlalu munafik! Lo terlalu polos! Lo nggak bisa gue pake!"

PLAKKK!!!

Tanpa sadar aku menamparnya. Cowok di depanku ini emang pantes di tampar atau bahkan aku lempar ke neraka!

"Kenapa kamu tampar aku, sayang? Jangan bikin aku khilaf disini, darl."

"Sakit jiwa," desisku.

"IYA!" bentaknya.

Dan dengan kasar Rio berusaha menciumku. Sebisa mungkin aku menghindar, cuma itu yang aku bisa. Tenaga dia terlalu kuat untukku.

"CK! SIALAN!" aku mendengar umpatan seseorang, suara laki-laki. Mas Alvin!

Rio menghentikan perbuatannya. Tapi kedua tangannya masih mencengkram bahuku.

Aku nggak ngeliat Mas Alvin sama sekali. Dimana dia? Dia dateng mau nolong aku? Ya, semoga.

Suara langkah berat semakin mendekat ke arahku dan Rio.

"Brengsek!" Rio mengumpat lalu masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkanku sendirian di basement.

"KKA, KETEMU NGGAK?!" suara teriakan Mas Alvin lagi.

"Ck! Susah, mas! Barang sekecil itu lo cari di tempat gelap gini, lagian lo bisa-bisanya ngilangin memory kamera di basement," suara Mas Cakka. Ya, itu suara mereka.

"Nah! Ketemu, Kka! Yaudah ayo, balik ke atas!" lagi. Suara Mas Alvin. Suara langkah mereka semakin menjauh.

Hatiku mencelos. Mereka datang bukan untuk menolongku, mereka cuma mencari memory kamera yang hilang. Oke, ambil sisi positifnya. Rio nggak jadi berbuat hal gila.

Perlahan air mataku turun. Aku sendiri nggak tau, air mata ini karena perbuatan Rio atau karena kenyataan Mas Alvin datang bukan untuk menolongku?

***

Lagi-lagi aku nggak bisa tidur. Masih kepikiran hal yang terjadi hari ini. Tentang Rio dan Mas Alvin. Untungnya ada Ify yang menginap di rumahku. Saat tadi dia tau keadaanku yang masih shock dia menawarkan diri untuk menginap. Dan aku menceritakan semuanya, juga kekecewaanku bahwa Mas Alvin nggak sengaja 'menolong'-ku.

"Via, gue nggak pernah percaya yang namanya kebetulan. Mas Alvin itu sebenernya care sama lo, dia beneran mau nolong lo secara nggak langsung," ujar Ify.

"Ifyyy itu emang cuma kebetulan! Malahan gue cuma denger suaranya aja, gue nggak ngeliat dia. Kalo dia emang beneran mau nolong, harusnya pas dari awal. Bukannya pas detik-detik terakhir!" seruku.

"Ih dibilangin nggak percayaan banget sih."

"Bukannya gitu. Tapi Mas Alvin emang nggak pernah 'ngeliat' gue."

"Ng... Vi, lo beneran suka sama Mas Alvin?"

Aku menghela nafas, "taudeh. Puyeng gue."

***

Setelah kejadian di basement itu, Ify jadi terus-terusan menemaniku kemana-mana. Dia bilang, takut Rio berbuat hal nekat lagi.

Padahal, udah seminggu ini Rio nggak muncul. Di sekolah pun aku udah nggak pernah liat dia lagi.

"Aneh, gue udah nggak pernah liat Rio lagi, Fy," ujarku saat jam istirahat. Di kelas hanya ada aku dan Ify sekarang.

Ify mengernyit, "ngapain lo nyariin dia?"

"Bukannya gitu! Ya, aneh aja. Di sekolah aja gue nggak pernah liat dia lagi."

"Nggak pernah? Gue malah sering banget nggak sengaja ketemu dia."

"Dimana?!"

"Di ruang guru, koperasi dan akhir-akhir ini kan lo tau ekskul gue lagi sibuk, gue jadi sering pulang malem kan?"

"Iya. Terus?"

"Nah, gue sering ngeliat Rio main basket sendirian sampe malem disini. Gue sampe ngira dia yang megang kunci sekolah," lanjut Ify.

"Makin aneh tuh orang."

"Yaudahlah, Vi. Ngapain sih masih mikirin psikopat itu? Lupain!"

"Iya, iya, Fy!"

***

Sudah 5bulan terakhir Tante Zahra jadi ibuku, nggak ada perubahan berarti. Karena Tante Zahra juga sibuk sama seperti Ayah.

Dan ya seperti biasa, cuma ada Ify dan Bi'Muji yang menemaniku di rumah. Atau sesekali Kak Angel juga datang, seperti hari ini.

"Ify, ini Kak Angel," aku memperkenalkan Kak Angel pada Ify.

Ify tersenyum manis, "Ify."

"Angel. Kamu temen baiknya Via ya?" ujar Kak Angel.

"Ya begitu lah, kak," Ify tertawa.

Untung Ify orang yang cepat akrab, jadi dia nggak canggung sama Kak Angel yang 6 tahun lebih tua.

"Ohiya, maaf ya, Vi. Aku baru bisa dateng hari ini. Kemarin-kemarin aku sibuk di kantor," ujar Kak Angel.

"Nggak pa-pa kak, aku udah biasa sendirian di rumah. Lagipula kan ada Ify," balasku.

"Kemarin aku udah minta Alvin nemenin kamu, tapi ya dia bilangnya lagi banyak tugas kuliah terus," lanjut Kak Angel.

Hatiku mencelos. Kak Angel memang nggak tau kalo adik-adiknya ngejauhin aku. Rasanya aku mau teriak kalo Mas Alvin bohong! Dia pasti bukan banyak tugas, tapi dia emang nggak mau ketemu aku!

"Kalo Mas Cakka?" pertanyaan bodoh keluar dari mulut Ify. Kontan aku memelototinya.

"Aku emang nggak pernah nyuruh Cakka, soalnya dia bukan orang yang bisa diandalkan," Kak Angel tertawa.

"Ify suka sama Mas Cakka tuh, kak!" seruku.

Ify balas melotot, "Ih nggak! Via tuh yang su-" Ify langsung menutup mulutnya. Dia nyaris keceplosan!

"Via kenapa?" tanya Kak Angel penasaran. Aduh mampus.

"Itu kak, Via yang suka ngada-ngada!" jawab Ify.

"Kalo Ify suka sama Cakka juga nggak pa-pa kok, Fy," ucap Kak Angel yang sepertinya percaya ucapan Ify.

Muka Ify memerah begitu mendengar ucapan Kak Angel, "nggak kaaak!"

Kak Angel tertawa geli saat melihat muka Ify yang memerah.

Aku menghela nafas lega. Nggak lagi-lagi deh ngeledekin Ify, kalo dia keceplosan kan bahaya!

***

Hari Minggu. Aku meregangkan ototku, lalu melirik jam di nakas. Jam tujuh pagi.

Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan di pintu kamarku.

"Via, udah bangun?" suara Tante Zahra.

Aku bangun dari tempat tidur lalu membuka pintu kamar, "kenapa, tan?"

"Mau ikut nggak? Tante mau ke Kalibata, mau beli beberapa barang disana. Kali aja kamu juga mau beli apa gitu."

"Ikut deh."

"Yaudah mandi dulu. Tante tunggu di bawah, nanti kita jemput Iyon dulu ya."

Aku mengangguk, Tante Zahra turun ke lantai bawah. Aku langsung masuk ke kamar mandi.

***

Begitu selesai, aku langsung turun. Aku hanya menggunakan hot pants dan baju berlengan panjang.

"Ayo, tan!" ujarku. Tante Zahra mengangguk.

***

"Via, kamu yang jemput Iyon ya. Tante tunggu sini," ujar Tante Zahra.

Aku turun dari mobil yang diparkir di depan rumah Iyon. Iyon adalah bocah laki-laki berumur 3tahun, anak dari adik laki-lakinya Tante Zahra. Nama aslinya Rion.

Aku langsung masuk ke rumah itu, Iyon dan ibunya sudah menunggu di ruang tamu.

"Via, ini tasnya Iyon ya. Kalian hati-hati," ujar ibu Iyon sambil menyerahkan tas kecil berwarna biru itu.

"Iya, tan. Ayo, Iyon!" aku menggandeng tangan Iyon menuju mobil.

***

Tante Zahra sedang berbelanja bersama Iyon. Dan aku lebih memilih untuk tetap di mobil.

Handphoneku bergetar. Telpon dari Ify.

"Moshimoshi!" sapaku.

"Nggak usah sok Jepang lo," seru Ify.

Aku tertawa, "sirik aja lo. Ngapain nelpon?"

"Lo dimana?"

"Kalibata."

"Ngapain?"

"Tante Zahra mau belanja, ya gue ikut aja daripada bete di rumah."

"Pulang jam berapa?"

"Mau ngapain sih?" tanyaku penasaran. Nggak biasanya Ify jadi bawel gini.

"Udah jawab aja."

"Nggak tau."

"Yah, sial deh gue."

"Kenapa sih emangnya?"

"Gue jelasin di BBM deh! Bye!" Klik! Sambungan terputus.

Beberapa saat kemudian LED handphoneku mengedip-ngeipkan warna merah, BBM dari Ify.

Ify Alyssa:
Tadi Rio ke rumah lo, tapi di rumah lo ga ada orang. Terus dia jadi ke rumah gue. Gue nggak ngerti ni anak mau ngapain, lo cepetan pulaaang!

Rio ke rumahku sepagi ini? Dia mau ngapain? Aku langsung membalas chat dari Ify.

Sivia Azizah:
Dia mau ngapaaain? Yah, Fy suruh pulang aja deh. Gue kayaknya masih lama.

Ify Alyssa:
Gue nggak tau. Tadi udah gue suruh pulang, tapi kayaknya dia nggak pulang deh. Dia bilang mau nunggu lo di cafe depan komplek.

Sivia Azizah:
Gue takut, Fy.

Ify Alyssa:
Yaudah, nanti kalo lo udah pulang jangan langsung ke cafe. Lo ke rumah gue aja, nanti kita kesana.

Sivia Azizah:
Oke, thanks Fyyy!

Aku menghela nafas. Untuk apalagi Rio cari-cari aku? Jujur, aku masih takut.

***

Kini kami sedang dalam perjalanan pulang dan Tante Zahra sibuk menelpon seseorang.

"Via, tante mau ke rumah Budhe Irva. Mas Cakka sakit. Kamu mau ikut atau pulang?" ujar Tante Zahra.

Aku terdiam. Aku tau Tante Zahra sangat sayang pada keponakan-keponakannya, apalagi Mas Cakka. Jadi wajar kalo Mas Cakka sakit, Tante Zahra jadi khawatir.

Hmm... Ke rumah Budhe Irva? Pasti ada Mas Alvin. Aku mau banget ngeliat Mas Alvin. Tapi aku nggak mau dicuekin Mas Alvin lagi. Kalo pulang, aku bisa nemuin Rio. Tapi aku takut...

"Via, ikut nggak?"

"Ng... Ikut deh, tan."

***

Aku menunggu Tante Zahra yang sedang memarkir mobil di garasi.

"Ayo masuk, Vi. Kenapa berdiri disini?" tanya Tante Zahra.

Aku hanya tersenyum kikuk, aku nggak mungkin bilang kalo aku nggak berani masuk duluan karena Mas Alvin...

Iyon langsung berlari masuk sedangkan aku mengikuti Tante Zahra dari belakang.

Aku menyalimi Budhe Irva yang sudah menunggu di ruang tamu, lalu Budhe Irva mengajakku ke ruang keluarga. Sedangkan Tante Zahra langsung ke kamar Mas Cakka.

Langkahku terhenti begitu melihat Mas Alvin yang sedang berjongkok sambil mengacak-acak rambut Iyon di depannya. Iyon hanya tertawa diperlakukan seperti itu.

Aku hanya memandang mereka dari sini, terpaku. Mas Alvin seperti baru menyadari keberadaanku.

Mas Alvin menoleh. Menatapku sebentar tepat di manik mata. Lalu dia menghela nafas dan meninggalkan aku dan Iyon. Aku bisa melihat ekspresi kesalnya.

Lagi-lagi, hatiku mencelos. Entahlah, aku cuma ingin menangis sekarang...

Aku terduduk di sofa. Iyon hanya menatapku bingung. Perlahan air mataku turun.

"SIVIAAA!!!" itu suara teriakan Kak Angel dari lantai dua.

Aku buru-buru menghapus air mataku. Kak Angel berlari turun lalu menarik Iyon dalam gendongannya dan duduk di sebelahnya.

"Hei, tumben banget kamu kesini!" ujar Kak Angel. Aku hanya tertawa kecil.

"Via. Kamu nggak pa-pa? Kok nunduk aja?" tanya Kak Angel.

"Nggak pa-pa kak," aku terpaksa menatap Kak Angel.

"Kamu abis nangis?"

"Nggaaak."

"Cerita aja, Vi. Ke kamarku, yuk!" ajak Kak Angel. Aku mengikutinya dari belakang.

Kak Angel berhenti di depan sebuah kamar, mungkin itu kamarnya. Tapi kenapa Kak Angel mengetuk pintunya?

"Alvin!!!" pekik Kak Angel.

Jadi ini kamar Mas Alvin?! Mampus.

Cklek...

"Apaan?" tanya Mas Alvin.

"Nitip Iyon nih! Anak orang jangan dinangisin!" Kak Angel menurunkan Iyon dari gendongannya.

"Emangnya lo mau ngapain sih"

"Urusan cewek!" seru Kak Angel. "Ayo, Vi!" lanjutnya lalu menggandeng tanganku menuju kamarnya.

"Nah, sekarang cerita!" ujar Kak Angel saat kami sudah di dalam kamarnya.

"Cerita apa?"

"Cerita kenapa kamu nangis, Viaaa."

"Aku nggak nangis Kaaak!"

"Bohong. Ayo lah ceritaaa!"

"Harus, kak?"

"Harus!"

"Jujur, kak?"

"Jujur!"

"Sekarang, kak?"

"IYA VIAAA!!!" Kak Angel terlihat gemas.

Aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku sambil tertawa.

Duh, aku nggak mungkin bilang kalo aku nangis gara-gara Mas Alvin, kan?

"Via, aku bisa tutup mulut kok!" ujar Kak Angel.

"Ng... Mas Alvin itu orangnya gimana sih, kak?"

"Alvin? Kamu ngomongin Alvin untuk mengalihkan pembicaraan atau jangan-jangan penyebab kamu nangis itu Alvin?" Kak Angel mengernyit.

"Yang kedua kak..."

"Kamu nangis gara-gara Alvin?! Kamu diapain sama dia?!"

"Ih kak, jawab dulu. Mas Alvin itu sebenernya kayak gimanaaa?"

"Gimana apanya nih?"

"Dia cuek nggak?"

"Nggak kok. Dia orangnya friendly banget," ucap Kak Angel. "Kenapa, Vi?" lanjutnya.

Aku menghela nafas, "nggak pa-pa, kak."

"Yah, Viaaa. Aku kira tadi kamu mau ceritaaa."

"Kayaknya bukan salah Mas Alvin kak, akunya aja yang lebay. Mungkin cuma perasaanku aja. Aku ngerasa Mas Alvin agak cuek, atau malahan aku ngerasa Mas Alvin agak benci sama aku."

"Jadi penyebab kamu sampe nangis tadi gara-gara Alvin yang 'katanya' benci sama kamu?" Kak Angel terlihat kaget.

Oke, kayaknya aku emang lebay. Kak Angel aja sampe kaget gitu. Aku mengangguk.

"Ada alasan lain?"

Alasan lain? Hm... ada. Karena aku broken heart gitu. Haha, nggak mungkin kan aku bilang kalo patah hati sama Mas Alvin?

Jadi, aku cuma menggeleng sebagai jawaban.

Mata Kak Angel melebar, senyumnya pun ikut melebar. "VIA! KAMU SUKA SAMA ALVIN?" pekik Kak Angel.

Aduh mampus. Semoga Mas Alvin nggak denger teriakannya Kak Angel...

"Ng.. nggak kok kak, nggak..."

"Vi, aku bisa jaga rahasia kok," bisik Kak Angel.

Aku merasa wajahku memerah sekarang. Aku harus jawab apaaa?!?!?!?!

"Diam berarti ya!"

"Eh kak, aduuuh... Ng... gimana ngomongnyaaa."

"Kita kan sama-sama cewek, Vi. Lagian liat tuh muka kamu kayak tomat."

"Ih Kak Angel! Itu Kak Angel sendiri ya yang ngomong kalo aku suka sama Mas Alvin. Aku nggak pernah ngomong gitu pokoknya! Lagian kan aku sama Mas Alvin sepupu sekarang, masa aku suka sama dia?"

Kak Angel tertawa, "masalahnya apa kalo kalian sepupuan? Oh jadi kalo bukan sepupu kamu mau?"

"Kak Angel!!!!! Aku-nggak-suka-sama-Mas-Alvin! Titik!"

"Oke, yaudah nanti aku mau comblangin Alvin sama Ashilla ajadeh."

DEG!

"Eh ng.. ya-yaudah comblangin aja. Aku... ng... bukan urusan aku juga kan?" ucapku dengan susah payah. Sial, kenapa aku jadi gagap?

"Iya juga sih. Oke, aku comblangin mereka berdua deh."

Yak. Makin jauh lah aku sama Mas Alvin. Pasrah. Bye, my Alvin...

***

Jam 7 malam aku baru pulang dari rumah Budhe Irva.

Aku ingat Rio yang menunggu di cafe depan komplek. Aku nggak yakin dia masih nunggu, hampir 12 jam aku pergi.

Ohiya! Aku baru ingat, handphoneku ada di mobil. Selama di rumah Budhe Irva aku nggak bawa masuk handphoneku.

"Tan, pinjem kunci mobiiil,; ujarku pada Tante Zahra.

"Mau kemana, Vi?"

"Nggak kemana-mana. Cuma mau ambil hape, hapeku ketinggalan di mobil."

Tante Zahra menyerahkan kunci mobilnya padaku, aku langsung berlari ke garasi.

Itu handphoneku! Yaampun. Misscallnya banyak banget! Dan semuanya dari... Rio! Telpon balik nggak ya? Hm... Panggilan terakhirnya jam enam lebih lima puluh menit. Berarti masih baru.

Duh, telpon? Nggak? Telpon? Nggak? Telpon?

Handphoneku bergetar. Panggilan masuk dari... Rio! Aku menghela nafas.

"Ha-hallo?"

"Via? Kamu udah di rumah?" tanyanya. Yaampun, ini anak masih ngomong pake aku-kamu. Huh.

"Iya. Udah di rumah."

"Kamu mau aku yang ke rumah kamu atau kamu yang ke cafe?"

"HAH?! Lo masih di cafe?!"

"Iya, Via."

"Eh ng... gue aja deh yang kesana. 15 menit! Oke? Bye." klik! Sambungan terputus.

Berarti Rio udah 12 jam di cafe dan itu karena nungguin aku. Oke, sebenernya dia mau ngapain sih?

Yaudahlah, lebih baik aku ke rumah Ify dan langsung nemuin dia. Kasian juga.

"TANTEEE, VIA KE RUMAH IFY DULU YAAA!"

***

Aku memarkirkan mobilku. Ify menggerutu di sebelahku karena dia sudah mengenakan piyamanya saat aku jemput paksa. Haha keadaan darurat.

"Gue ngawasin kalian dari sini aja ya? Keliatan kok, itu gue bisa liat Rio," ujarnya sambil menunjuk salah satu sudut cafe.

Aku tertawa, "oke. Tapi sebenernya masuk cafe pake piyama cute loh, Fy."

"Rese lo! Udah sana cepetan!"

"Iya, iya!"

Aku berjalan memasuki cafe dan langsung menuju meja Rio. Rio belum sadar dengan kedatanganku karena posisinya yang sedang menelungkup di meja.

"Rio?"

Rio mengangkat kepalanya perlahan, "Via!"

Aku duduk di hadapannya. Ya, untung cafe ini menggunakan sofa untuk tempat duduknya. Jadi duduk selama hampir 12 jam disini nggak terlalu buruk kan?

"Lo disini dari jam berapa?"

"Sekitar jam delapan," jawabnya sambil tersenyum. Senyumnya kali ini berbeda. Bukan senyuman mesum atau senyuman menggoda seperti biasanya. Senyumannya kali ini seperti... senyum yang menyiratkan kepedihan?

"Kenapa nggak pulang?"

"Aku cuma mau nunggu kamu. Nggak mungkin aku nunggu di rumah kamu, aku ngerasa terlalu jahat buat kesana. Nggak mungkin juga kan aku nunggu di rumah Ify."

Aku mengangguk pelan. Lalu hening. Oke, aku nunggu dia mau ngomong apa.

"Via, kamu masih marah nggak?"

"Eh? Ng... nggak tau."

"Kalo iya juga nggak pa-pa. Aku tau, kejadian di basement waktu itu fatal banget."

"Gue udah nggak marah sama lo. Gue cuma... agak takut ketemu lo," ucapku jujur.

Rio langsung menatapku intens setelah aku berbicara. Matanya... menyiratkan keputusasaan?

"Gue salah ngomong ya? Sorry," ujarku.

"Nggak, nggak. Harusnya aku yang minta maaf. Dan kamu nggak salah, aku lebih suka kamu jujur."

"Oh? Oke."

"Dan jujur, aku lebih suka kamu marah atau kamu benci aku sekalian daripada kamu... ya, daripada kamu takut sama aku," Rio menunduk.

Oke, aku jadi nggak enak sama Rio sekarang. Aku salah ngomong kan tadi? Sial.

"Sorry, Yo."

"Berhenti minta maaf, Via."

"Oke..."

"Aku tau, aku salah besar nyakitin kamu. Kamu itu cewek baik, bahkan setelah semua kejadian itu kamu masih bisa minta maaf padahal itu cuma kesalahan kecil yang nggak penting. Dan aku justru butuh satu minggu untuk ngumpulin keberanian nemuin kamu," ujarnya.

Aku hanya diam menunggunya bicara lagi.

"Percaya atau nggak, waktu itu aku beneran khilaf. Waktu itu aku udah nggak tau lagi gimana caranya supaya kamu balik lagi sama aku. Aku masih amat sangat sayang sama kamu, Via. Tapi caraku salah besar ya? Kamu aja sampe takut sama aku kan?" Rio tertawa kecil. Tawa yang dipaksa.

"Yang waktu lo bilang gue nggak bisa 'dipake' itu berarti lo beneran pernah nyeleweng ya?" ya, satu pertanyaan bodoh keluar dari mulutku.

"Ya, tapi nggak seburuk itu kok. Lagian aku juga tau kamu nggak pernah bener-bener sayang sama aku kan?" Rio tersenyum.

"Eh? Dulu gue sayang sama lo tau! Lo-nya aja genit sama cewek!"

"Via, kamu itu cuma nggak bisa bedain mana yang rasa sayang dan mana yang rasa terimakasih. Kamu nerima aku dulu cuma sebagai rasa terimakasih karena aku care sama kamu. Dan aku tau, kamu mutusin aku bukan sepenuhnya karena aku kegenitan sama cewek lain. Iya kan?" jelasnya.

"E-emangnya aku mutusin kamu ada alasan lain?"

"Kamu lagi suka sama orang lain," ucapnya. Oke, itu pernyataan bukan pertanyaan.

Telak! Rio betul. Oke. Banyak yang udah sadar aku suka sama Mas Alvin ya? Emangnya di jidatku ada tulisan 'Sivia Lagi Jatuh Cinta'?

"Tuhkan bener. Yaudah, lanjutin aja perasaannya. Patah hati deh gue," ujar Rio.

"Apaansih?"

"Udah bisa maafin gue?"

"Ya mungkin pelan-pelan, Yo. Nggak secepat itu."

"Mau jadi temen gue nggak nih?"

"Hah?!"

"Sekarang lo mau temenan sama gue atau mau musuhin gue, Vi? Atau mau balikan sama gue?"

"HAH?!"

"Hah-heh-hah-heh. Yang terakhir nggak serius kok!"

"Oh? Oke. Ng.. ya temenan."

Rio tersenyum lagi, dan kali ini terlihat lebih lepas. "Masih takut sama gue?"

"Gue nggak pernah takut sama lo, kok."

"Nggak usah ngerasa nggak enak gitu, gue tau lo dateng kesini minta ditemenin kan? Sampe anak orang yang udah mau tidur lo paksa ikut kesini," Rio tertawa kecil.

"Tau darimana?!"

"Tuh. Temen lo yang satu itu emang nggak pernah biasa aja ya kalo ngeliat gue? Daritadi melototin gue terus," Rio menggedikan dagunya ke tempat dimana mobilku terparkir.

"Oke, gue ketauan," ujarku.

"Nggak pa-pa, ya gue harap setelah ini lo nggak trauma sama gue sih, Vi."

"Ya, semoga..."

"Ng... Vi? Gue boleh meluk lo?" Rio bertanya dengan nada hati-hati.

"Tempat umum, Yo."

Rio tertawa miris, "gue emang nggak boleh nyamain lo sama cewek lain ya."

Aku hanya tersenyum kikuk, aku emang nggak suka mengumbar hal kayak gitu di depan umum.

"Atau lo emang nggak mau gue peluk?"

"Eh, bukan! Bukan gitu! Ya, kalo ada sedikit privasi lagi, nggak pa-pa. Tapi ini tempat umum, ya lo tau gue kan?" jelasku.

Rio tersenyum, "iya gue ngerti."

Aku ikut tersenyum lalu melirik jam ditanganku. Hampir jam setengah sembilan.

"Mau pulang, Vi?" tanya Rio.

"Iya. Jam malem gue cuma sampe jam sembilan, Yo."

"Tunggu sebentar lagi deh, Vi. Gue kasian sama temen lo itu kalo nggak dapet apa-apa," ujarnya lalu memanggil seorang pelayan.

"Ify suka hot chocolate?" tanya Rio. Aku hanya mengangguk.

"Oke, hot chocolate tiga. Ditaruh di cup aja. Semuanya jadi berapa? Total sama yang daritadi pagi," ujar Rio.

Pelayan tadi terlihat sibuk menghitung, "seratus dua puluh tiga ribu."

Rio membayarkan semua tagihannya lalu pelayan itu pergi setelah mengucapkan terimakasih.

"Lo pesen apaan aja, Yo?" aku tersenyum geli.

"Nggak tau, gue sendiri lupa. Nyaris semua menu disini gue pesen kayaknya."

"Sorry banget, Yo. Lo jadi nunggu lama."

"Sekali lagi lo minta maaf gue cium disini lo, Vi!" ancamnya. Dan otomatis aku terdiam.

"Vi, gue bercanda barusan. Lo nggak takut sama gue kan?" tanya Rio dengan ekspresi khawatir.

"Eh ng-nggak. Nggak gue nggak takut kok, iya gue tau lo bercanda."

"Permisi, ini hot chocolate-nya," seorang pelayan mengantarkan pesanan Rio.

Rio mengucapkan terimakasih dan pelayan itu berlalu pergi.

"Nih buat lo dan ini buat Ify," Rio menyerahkan dua cup hot chocolate padaku.

"Gue kan nggak minta, Yo."

"Gue masih inget kalo lo suka banget hot chocolate, lo bilang kalo ini tuh bisa nenangin lo kan?"

"Iya sih. Yaudah biar gue ganti, berapa sih?"

"Nggak usah, Via. Ayo pulang!"

***

"Nih, Fy," aku menyerahkan cup itu pada Ify.

"Sogokan dari lo ya?" Ify melirik sinis pada Rio.

"Ih Ify nggak boleh gitu! Udah terima aja!" ujarku.

Rio tertawa, "Fy, pindah kebelakang sana. Via, gue yang nganter kalian ya?"

"Heh, bukannya lo bawa mobil?" potong Ify.

"Gampang itu sih! Ya, Vi?"

"Ya, oke deh."

***

Kini tinggal aku dan Rio, Ify sudah kami antar pulang. Rio memberhentikan mobilku di depan rumah.

"Lo pulangnya gimana? Mobil lo?" tanyaku.

"Gue minta tolong sama supir gue buat ngambil, dan gue pulang naik taksi aja."

Aku langsung mengambil handphoneku untuk menelpon taksi karena aku jamin nggak akan ada taksi lewat di dalam komplek jam segini.

"Taksinya sebentar lagi, Yo. Gue temenin deh sampe taksinya dateng."

"Ngusir, Vi?" tanyanya.

"Eh? Bukaaan!!!"

Rio tertawa, "iya, iya. Bercanda kok. Thanks ya!"

Aku menyodorkan hot chocolate miliknya yang sedaritadi ku pegang. Rio menerimanya dan langsung meminumnya. Dan selanjutnya, hening...

"Rio."

"Kenapa, Vi?"

"Gue rasa, disini cukup ada privasi..."

Begitu mendengar ucapanku, Rio langsung memelukku. Erat. Lalu menyusupkan wajahnya di relung leherku.

"Gue sayang sama lo, Vi. Maafin gue," bisikknya.

Aku nggak bisa jawab apa-apa, dan akhirnya aku cuma mengangguk.

***

Liburaaan! Yay! Sebentar lagi tahun baruuu! Akhirnyaaa, ada waktu buat istirahat.

Ya setelah Rio minta maaf waktu itu, udah nggak ada kejadian berarti lagi selama 2bulan terakhir.

Aku juga nggak ketemu Mas Alvin, Kak Angel juga jarang kasih kabar. Jangan-jangan Mas Alvin udah jadian sama Shilla?! Aish, lupakan!

"Heh! Tahun baru ada acara?" tanya Ify. Hari ini gantian aku yang main ke rumahnya.

"Belum tau. Lo mau kemana?"

"Belum tau juga, gue sih tergantung lo. Kalo lo ada acara, ya gue juga ada. Kalo lo nggak kemana-mana, gue tahun baruan sama lo!"

"Dasar! Kan udah berapa kali gue bilang, lo jangan nemenin gue terus. Lo kan juga punya kehidupan sendiri, Fy. Lagian kalo lo deket-deket gue terus yang ada gue disangka lesbian sama lo lagi," ujarku.

"Sialan lo! Ya nggak lah, gue cuma takut ntar Rio tiba-tiba dateng ke rumah lo, berbuat macem-macem."

"Ifyyy! Nggak boleh gitu sama Riooo!"

"Biarin aja!"

"Dia udah ngaku salah dari kapan tau, Fy. Gue aja udah maafin, masa lo nggak?"

"Abisnya gue kesel!!!"

"Ati-ati aja nanti lo malah suka sama dia."

"Nggak akan."

"Pasti!"

"Nggak!"

"Pasti!"

"Nggak!"

"Oke. Gue pegang omongan lo ya?" ucapku.

Ify langsung terdiam, beberapa saat kemudian dia langsung bisa menguasai keadaan lagi. "Oke!"

***

Tok! Tok! Tok!

"Iya masuuuk!" ujarku dari dalam kamar.

"Via, tahun baru mau ikut nggak?" tanya Tante Zahra.

"Kemana?"

"Barbeque-an di rumah Budhe Irva."

"Ikuuut!" seruku langsung.

***

New Year Eve! Yaaay! Jam 7 malam aku, ayah dan Tante Zahra berangkat ke rumah Budhe Irva.

Ya, rumah Budhe Irva. Secara nggak langsung, aku bakalan ngerayain tahun baru bareng Mas Alvin! Aku juga kangen sama Kak Angel.

Begitu sampai, aku nggak secanggung waktu itu karena Kak Angel langsung menarikku ke ruang keluarga. Sudah ada Budhe Irva dan suaminya, juga orang tua Iyon. Dimana Iyon-nya?

"Kak Iyon mana?" tanyaku pada Kak Angel.

"Tuh, sama jagoan senior," jawab Kak Angel sambil memandang ke arah dapur.

Iyon digandeng Mas Cakka berjalan ke ruang keluarga.

"Siapa jagoan senior?!" gerutu Mas Cakka.

"Ya elo lah bocah," ledek Kak Angel.

Aku melihat Mas Cakka yang menggerutu karena ledekan Kak Angel. Hm... daritadi aku nggak liat Mas Alvin.

Para orang tua meninggalkan kami untuk menyiapkan barbeque-nya. Di ruang keluarga tersisa aku, Kak Angel dan Mas Cakka.

Aku memutuskan untuk chatting via BBM dengan Ify. Ternyata dia ke Bandung, dan sekarang dia malah ngomel-ngomel ke aku gara-gara perjalanan Jakarta-Bandung yang katanya macet banget.

Hanya suara tv yang terdengar di ruangan ini. Padahal tadi Iyon masih sibuk berceloteh.

Aku menegakan kepalaku yang sedaritadi memandang handphone. Dan... oke. Aku cuma berdua sama Mas Cakka disini.

Kabur? Nggak? Kabur? Nggak? Kabur? Nggak?

"Via, temenin gue jalan dong. Masih jam delapan nih. Barbequenya masih lama, gue males gabung sama para orang tua sekarang."

Oke, itu suara Mas Cakka. Nggak salah? Mas Cakka ngomong sama aku?

"Iya gue ngomong sama lo. Emangnya yang punya nama Via diruangan ini siapa lagi? Pajangan?" ujar Mas Cakka lagi.

"Oh? Ehm, tadi Mas Cakka bilang apa?"

"Tadi gue bilang, lo mau nemenin gue nggak? Jalan doang sebentar," ujarnya.

Oke, kesempatan nanyain Mas Alvin! "Emangnya Mas Alvin kemana?"

"Ke Bandung sama Shilla. Udah deh, ayo lah Viaaa."

Ke Bandung sama Shilla.
Ke Bandung sama Shilla.
Ke Bandung sama Shilla.

Oke, siapa sih yang ngulang-ngulang kalimat itu di otakku?! Nggak tau apa aku lagi pengen lompat dari jembatan?! Oke, itu lebay.

"Heh malah bengong. Ayooo!" kali ini Mas Cakka sudah berdiri sambil mengulurkan tangannya.

Aku mengangguk sambil menyambut tangannya. Hei, aku gandengan sama Mas Cakka? Kok agak aneh ya?

"MAAA! AKU SAMA VIA JALAN-JALAN SEBENTAR YAAA!" teriak Mas Cakka dari pintu yang menghubungkan ke halaman samping, tempat mereka menyiapkan pesta barbeque.

"Ayo! Bawa jaket nggak? Gue males bawa mobil."

Aku menggeleng.

"Tunggu sebentar," Mas Cakka berlari ke lantai atas. Dan beberapa saat kemudian kembali lagi membawa dua jaket.

"Nih jaket Mas Alvin. Semoga nggak kegedean," Mas Cakka menyerahkan salah satu jaket di tangannya.

"Punya Mas Alvin? Eh, mendingan gue nggak pake jaket deh. Kalo dia marah gimana?"

"Gue yang tanggung jawab."

"Nggak deh. Gue minjem jaket Kak Angel aja ya?"

"Kelamaan Via!"

"Yaudah gue nggak usah pake jaket," ujarku. Ya lebih baik kedinginan daripada Mas Alvin tambah benci sama aku.

"Ck, oke. Lo pake jaket gue. Sini jaket Mas Alvin gue aja yang pake," Mas Cakka menyerahkan jaketnya padaku.

Oke, begini lebih baik.

***

Mas Cakka ternyata mengajakku ke TMII. Ya, nggak butuh waktu lama dari rumahnya di Bambu Apus untuk kesini.

Mas Cakka sedang memarkirkan motornya.

"Ngapain kesini?" tanyaku. Sekarang aku sudah lebih lepas bicara dengan Mas Cakka.

"Mau ngobrol banyak sama lo."

"Kenapa harus disini?"

"Nggak suka?"

"Ternyata lo nyebelin ya?" desisku.

Mas Cakka tertawa. "Gondolanya bisa dipake nggak ya?"

Aku menggedikan bahuku. Mas Cakka malah menarik tanganku. Dan oke, jalan dari parkiran tadi ke tempat gondola itu lumayan jauh. Sial.

"Bisa, Vi! Ayo!" Mas Cakka membeli tiket.

***

Aku melihat pemandangan di bawah, dan ternyata aku cuma bisa liat lampu. Iya, lampu. Karena sudah malam jadi ya, nggak keliatan apa-apa.

Aku menghela nafas, meniup poniku lalau mengerucutkan bibirku. Itu kebiasaanku kalo lagi bete, hahaha.

"Gue seneng lo bener-bener jadi sepupu gue. Udah lama gue mau punya adek cewek, apalagi yang lucu kayak lo."

"Hah? Ngomong apa tadi?"

"Nggak."

"Mas Cakka!!!"

Lagi-lagi Mas Cakka tertawa, "lo ngerasa aneh nggak kita kayak gini?"

"Iya, aneh. Lo kan cuek banget sama gue, tiba-tiba jadi gini," gerutuku.

Mas Cakka terdiam dan hanya memandangiku.

"Apa liat-liat?"

"Nggak pa-pa. Lucu aja gue punya adek cewek. Kelakuannya beneran kayak bocah pula."

"Ih enak aja! Kan lo yang dibilang bocah!"

"Iya! Emang Kak Angel ngeselin! Mentang-mentang gue yang paling bungsu jadi diledekin gitu terus. Gue udah mau lulus SMA juga!" gerutu Mas Cakka.

"Cocok."

"Cocok apanya?"

"Panggilan 'jagoan senior' dari Kak Angel emang cocok buat lo. Jagoan kecilnya Iyon kan?"

"Sialan!"

Aku tertawa, "sumpah nggak nyangka lo aslinya begini."

"Terakhir kita ngobrol kapan ya, Vi?"

"Pas gue kelas 5 SD kayaknya."

"Serius?"

"Iya. Gue masih inget, dulu Mas Alvin mulai nyuekin gue pas gue masih kelas 3 SD kalo nggak salah. Dan setiap lo ngomong sama gue, pasti Mas Alvin langsung marah-marah, dia bilang lo nggak boleh deket-deket sama gue, lo nggak boleh ngomong sama gue dan larangan-larangan lainnya tentang gue. Salah gue apaan sih?" aku menumpahkan semua unek-unekku.

"Lo segitunya Vi? Cuma karena Mas Alvin ngejauhin lo?"

Aku menggedikan bahu, "mungkin gue cuma penasaran kenapa dia segitu bencinya sama gue. Sampe sekarang aja dia masih jauhin gue kan?"

"Dendam kesumat kali tuh orang."

"Thanks, Mas. Kalimat barusan bener-bener memotivasi gue," desisku.

"Sorry, Vi. Bercanda," ujar Mas Cakka. Dia terdiam sebentar, "suka sama Mas Alvin, Vi?" lanjutnya.

Oke. Bunuh aku sekarang.

"Vi, ayolah," Mas Cakka semakin mendesakku.

Lebih baik aku diam daripada salah ngomong. Siaaal!

"Why won't you answer me? Youre silence is slowly killing me," Mas Cakka bernyanyi! Oke, suaranya lumayan juga ternyata.

Aku tertawa, "killing me? Emang jawaban gue ngaruh sama hidup lo, mas?"

"Maybe yes."

"Ngaco dasar!"

Mas Cakka hanya tertawa. Dan lagi-lagi kami terdiam.

Cklek!
Karena suara itu, aku refleks berpindah tempat yang semula duduk berhadapan dengan Mas Cakka dan sekarang pindah ke sampingnya. Oke, sebenernya aku phobia ketinggian...

"Mas, itu suara apa tadiii?"

"Suara apa? Yang tadiii!"

BRAKKK!!!

"Aaaaaa!!!!!" lagi-lagi aku refleks berteriak dan memeluk Mas Cakka.

Oh ayolah, ada apa? Jangan bilang gondolanya mau jatuh? Haaaaa, ayaaaaah tolongin Via!!!!!!

Tanpa sadar aku menangis ketakutan, sebisa mungkin aku menahan isakanku.

"Nggak pa-pa, Vi. Gondolanya cuma macet sedikit, sebentar lagi juga jalan," Mas Cakka mengelus rambutku.

Aku menenggelamkan kepalaku di dada Mas Cakka, "Vi-Via takut. Via takut ketinggian."

"Hah? Kenapa nggak bilang daritadi?!"

"Tadi kan Mas Cakka yang geret Via kesini!"

"Sorry, Vi. Gue nggak tau."

"Pulaaang. Via mau pulang!!!"

"Iyaaa. Kita langsung pulang nanti. Maafin gue, ya."

Cklek!
Aku merasakan gondolanya berjalan kembali. Akhirnya...

Aku melepaskan pelukanku pada Mas Cakka.

"Nggak pa-pa?" Mas Cakka menghapus air mataku.

"Pulang..."

"Iyaaa. Kita langsung pulang abis ini, yaaa," Mas Cakka memelukku lagi.

Aku bersyukur. Senggaknya Mas Cakka bisa jadi kakak laki-laki yang melindungiku.

"Makasih, Via," bisikknya.

Aku mengernyit, "untuk?"

"Lo ngebuat gue ngerasain gimana rasanya ngelindungin seorang adik perempuan. Senggaknya gue nggak ngerasa bocah lagi karena ada yang lebih bocah dari gue."

"MAS CAKKAAAAA!!!!!"

***

Aku dan Mas Cakka sampai di rumahnya jam setengah sebelas.

"Darimana? Kayak orang pacaran kalian!" ujar Kak Angel.

"Ngaco deh kak," balasku.

"Kak Angel, kakakku yang paling cantik, paling baik sekaligus paling tua. Cakka adikmu yang paling ganteng ini abis nemenin adik perempuan kita yang manja iniii," ucap Mas Cakka. Kontan aku menginjak kakinya.

"Aaaw! Sakit, Via!" pekiknya.

"Lagian ngomong sembarangan aja!"

Kak Angel tertawa, "injekannya anak manja enak nggak, Kka?"

Mas Cakka melirik Kak Angel sinis. Aku dan Kak Angel hanya tertawa geli.

Seandainya kayak gini dari dulu. Dan seandainya ada Mas Alvin juga disini...

***

Semenjak malam tahun baru itu, aku jadi semakin dekat sama Mas Cakka. Dekat sebagai kakak-adik ya! Hahaha.

Gara-gara Mas Cakka sekarang sering nemenin aku di rumah, Ify jadi semakin sering juga ketemu Mas Cakka. Tapi kayaknya Ify biasa aja, padahal kan dulu dia nggak gitu, haha.

"Mas Cakkaaaaaaaa!!!" teriakku dari dalam kamar.

"Via, nggak usah teriak dooong! Gue jadi lupa tau! Ah tadi hasilnya berapa iniii?" Ify menggerutu.

Aku tertawa, "maaf, Fy."

"Apaan sih, Vi?" tanya Mas Cakka.

"Ajarin gue!" seruku.

"Dasar oon. Mana sini?"

Aku menyerahkan buku tulisku pada Mas Cakka.

"Yaaay! Gue selesai duluan! Besok traktir gue, lo ya?!" ujar Ify.

"Ih boong? Lo ngasal ya?" tuduhku.

"Nggak! Gue beneran mikir tau! Besok traktir gue, oke? Yaudah gue mau pulang. Kan udah ada Mas Cakka," Ify terkikik geli sambil membereskan barang-barangnya.

"Bye, Via! Bye, Mas Cakka!" pamit Ify.

"Bisa nggak?" tanyaku.

Mas Cakka terlihat sedikit bingung, "bisa. Gue cuma agak lupa aja."

"Halah alesan!" ledekku. Mas Cakka tidak membalas ucapanku.

Aku sengaja melihat-lihat isi tas Mas Cakka. Ada kamera. Aku penasaran objek apa aja yang difoto sama Mas Cakka.

"Itu kameranya Mas Alvin, Vi," ujar Mas Cakka.

"Serius?"

"Iya. Kenapa? Takut dimarahin kalo ketauan ngotak-ngatik kamera dia?" ledek Mas Cakka.

"Nggak. Gue justru penasaran. Asal lo nggak ngadu sama Mas Alvin aja sih, kalo sampe ngadu gue pecat lo jadi kakak gue!" aku tertawa saat melihat wajah polos Mas Cakka.

"Emang bisa?" tanyanya.

"Bisain aja deh. Udah itu kerjain duluuu!"

Aku kembali sibuk dengan kamera DSLR itu.

Diawal, dominan foto-foto pemandangan Tangkuban Perahu. Pasti ini waktu Mas Alvin ke Bandung sama Shilla deh.

Setelah foto-foto pemandangan di Tangkuban Perahu itu, ada foto Mas Alvin. Mas Alvin lagi. Mas Alvin lagi. Dan setelahnya ada banyak foto Mas Alvin berdua dengan Shilla. Oke, aku boleh banting kameranya nggak?

Bukannya berhenti, aku justru terus melihat foto-foto selanjutnya. Untung aku nggak nangis cuma karena foto-foto itu.

Oke, sekarang foto-foto waktu pernikahan ayah sama Tante Zahra. Diawal lebih banyak foto Kak Angel, Mas Alvin, Mas Cakka dan Shilla. Ya, Shilla lagi. Shilla lagi. Selanjutnya ya foto-foto sewaktu akad nikah dan resepsi.

Semakin lama, aku merasa ada yang aneh dengan foto-foto selanjutnya. Memang masih foto di pernikahan ayah.

Tapi... Ini kan foto-fotoku?! Aku ingat. Ada foto sewaktu aku sibuk mengabadikan acara akad nikah, foto saat aku bersama Ify, saat aku sendiri, saat aku makan.

Bahkan ada berbagai ekspresi. Mulai foto saat aku serius memperhatikan hasil bidikanku, saat aku tersenyum, tertawa, juga saat aku marah dan melirik sinis pada Rio waktu itu.

Oke, jadi ini maksudnya apa? Aku sendiri nggak sadar kalo ada yang memfotoku waktu itu.

Aku semakin mengobrak-abrik tas Mas Cakka, ada iPad.

"Mas, ini iPad siapa?"

"Punya Mas Alvin. Itu tasnya Mas Alvin ketuker sama punya gue, isinya ya punya Mas Alvin semua."

Aku nggak membalas ucapan Mas Cakka. Aku penasaran, gallery di iPad-nya berisi foto siapa?

Dan ternyata yang di iPad lebih parah. Ada banyak foto-fotoku saat aku di rumah Budhe Irva, aku ingat waktu itu saat Mas Cakka sakit. Aku mengenakan hotpants dan kaos berlengan panjang.

Semakin lama, fotoku semakin banyak. Foto yang diambil di hari yang sama. Lagi-lagi ada dalam berbagai ekspresi. Bahkan saat aku menangis juga ada.

Aku terus melihat foto-foto yang ada. Ya ampun! Foto-fotoku yang ada di facebook, di twitter, di instagram, di tumblr, semuanya ada disini!

Oke, jadi siapa sebenernya orang kurang kerjaan yang nyimpen foto-fotoku di gadgetnya Mas Alvin?

"Selesai, Vi!" pekik Mas Cakka.

Aku memasukan kamera dan iPad itu ke tas. Lalu menghampiri Mas Cakka. Nanti kalo ketemu Mas Alvin, langsung aku tanyain! Bodoamat deh dia mau nyuekin aku, yang penting aku harus dapet jawaban dari yang punya barangnya langsung!

"Makasih Mas Cakkaaa!" seruku saat melihat satu-satunya nomor yang aku nggak ngerti sudah terisi.

"Truth or dare?!"

Eh? Kenapa tiba-tiba jadi main truth or dare?!

"Kenap-"

"Truth or dare?!" potong Mas Cakka.

Aku menghela nafas. Baiklah.

"Truth."

"Sayang sama Mas Cakka nggak, Vi?"

"Ih Mas Cakka pertanyaannya narsis!!!" cibirku.

"Udah jawab aja."

"Sayang!" ujarku. "Truth or dare?!"

"Truth."

"Suka sama Ify, ya?"

"Ck. Iya!" jawab Mas Cakka.

Haaaa Mas Cakka suka sama Ify!!!!!

"Truth or dare?" tanya Mas Cakka.

"Truth."

"Tahun kemarin udah pernah dicium belum? Sama siapa?"

"Udah. Sama ayah," jawabku jujur.

"Ck, dasar bocah polos. Maksud gue bukan itu!!! Maksud gue dicium cowok," gerutu Mas Cakka.

"Ih ayah gue kan cowok!" balasku.

"Oke, terserah."

"Truth or dare?"

"Dare."

"Ajak Ify dinner cepet!" ujarku.

"Nggak punya nomernya Ify."

"Oke, nanti aku kasih. Tapi janji ya ajakin Ify dinner?"

"Iya, Viaaa. Truth or dare?!"

"Truth!"

"Kenapa Via sayang sama Mas Cakka?" tanya Mas Cakka.

"Ih dasar oon! Lo kan kakak sepupu gue, lagian kakak cowok yang care sama gue juga lo doang," jelasku.

Mas Cakka mengangguk.

"Truth or dare?"

"Truth."

"Kenapa dulu nyuekin Via?" tanyaku.

"Gara-gara Mas Alvin! Truth or dare?"

"Truth!" jawabku. Hahaha daritadi aku jawab truth teruuus!

"Pernah nyium cowok nggak? Selain ayah lo, ya," ujar Mas Cakka.

Aku menggeleng, "nggak pernah. Ng... Truth or dare?!"

"Truth."

Yah, Mas Cakka milih truth. Aku kehabisan pertanyaan lagi. Nanya apa ya?

"Lebih baik aku atau Shilla?" pertanyaan bodoh keluar dari mulutku.

Bukannya menjawab, Mas Cakka tertawa geli.

"Ih jangan ketawaaa!" gerutuku.

"Iya maaf. Lebih baik Via, deeeh," ujar Mas Cakka. "Truth or dare? Jawabnya pasti truth lagi deh," lanjutnya.

"Dare!" aku tertawa. "Sok tau sih!" ledekku.

"Sial. Ng... Oke, yakin milih dare?" Mas Cakka seolah menantangku.

"Yakin!" jawabku mantab.

"Cium gue."

"HAH?!"

"Via nggak budek kan? Ayolah, masa nyium kakaknya sendiri nggak mau?"

"Gue nggak pernah nyium cowok tau!" seruku.

"Iya gue tau," jawab Mas Cakka kalem. "Lo suruh ngajak Ify dinner aja gue mau, masa gini aja nggak mau?"

Yaudahlah, kalo Mas Cakka udah bawa-bawa kata 'kakak-adek' aku nggak bisa berkutik. Aku nggak mau Mas Cakka cuek kayak dulu lagi, "Iya, iya!"

Aku beringsut mendekati Mas Cakka. Jujur, aku degdegkan. Ini pertama kalinya aku nyium cowok selain ayah. Oke. Tarik nafas pelan-pelan, Vi...

Cup! Aku mencium pipi kiri Mas Cakka. Setelah itu aku langsung beringsut mundur ke tempat dudukku semula.

"Sebentar, gue nafas dulu," ujarku.

Mas Cakka malah tertawa geli. "Segitunya, Vi?"

"Iya! Gara-gara lo nih!" gerutuku.

"Yaudah lanjut."

"Truth or dare?!"

"Dare."

"Ganti display name BBM jadi Jagoan Senior selama seminggu!" ujarku.

"Yah, Vi. Serius?" tanyanya dengan muka memelas.

"Iya! Cepetan!"

Mas Cakka meraih Blackberry-nya dan beberapa saat kemudian aku memeriksa Recent Updates. Mas Cakka benar-benar mengganti display name-nya dengan Jagoan Senior. Hahaha!

"Gantian. Ini terakhir deh. Truth or dare?" seru Mas Cakka.

"Bener ya ini terakhir? Truth!", ujarku. Aku kapok milih dare, sumpah. Mendingan truth deh.

"Suka sama Mas Alvin nggak?" Mas Cakka bertanya dengan wajah serius.

"Ng... y-ya suka. Kalo nggak suka berarti aku benci dong? Ng... aku kan nggak benci sama Mas Alvin," jawabku dengan terbata.

"Bukan itu maksudnyaaa!!! Err, lo sayang sama Mas Alvin?" tanya Mas Cakka lagi.

"Sayang. Aku juga sayang sama Mas Cakka kan? Kan kalian, ng... kalian saudaraku juga."

Mas Cakka menghela nafas, sepertinya kesabarannya habis, hahaha.

"Oke, Via. Dengerin gue. Lo percaya sama gue kan? Gue nggak akan bilang siapa-siapa, Vi. Sumpah! Sekarang jawab. Lo cinta sama Mas Alvin?" ujar Mas Cakka.

Aduh, aku harus jawab apa sekarang? Kenapa jadi serius gini sih? Nggak lagi-lagi deh main truth or dare sama Mas Cakka!

Oke, lebih baik jujur deh. Tarik nafas... lalu aku menghembuskannya dengan sekali sentakan, "iya. Gue cinta sama Mas Alvin!" ujarku tegas. Rasanya beban berat dipunggung terangkat saat mengucapkannya...

"Gue juga suka sama lo. Gue juga sayang sama lo. Gue juga cinta sama lo," ujar suara di belakangku.

Itu... suara Mas Alvin! Nggak. Aku terlalu banyak menghayal tentang Mas Alvin. Nggak mungkin itu Mas Alvin.

Aku merasakan orang itu semakin mendekat. Semakin mendekat di belakangku.

"I love you," bisiknya tepat di belakang kepalaku.

Darahku berdesir. Tuhan, kalo ini mimpi jangan sampe aku bangun lagi...

"Via, kamu masih mau ngebelakangin aku?" ujar suara itu lagi.

Perlahan aku membalik badanku, agak sulit karena aku sedang duduk di karpet.

"Mas Alvin!" aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan kanan.

Wajah Mas Alvin hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku, dan itu benar-benar membuat darahku berdesir hebat. Dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Aku nggak mimpi kan?" bisikku.

"Nggak. Ini nyata, Via," Mas Alvin tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya.

Aku langsung membalas pelukannya itu. Khayalanku jadi kenyataan.

***

Sore ini semuanya berkumpul di rumahku. Ayah, Tante Zahra, Budhe Irva dan suaminya, Kak Angel, Mas Cakka sampe Ify juga ada! Dan kali ini ada Mas Alvin.

"Jelasin semuanyaaa! Kalian selama ini rencanain apa sih?" ujarku. Aku rasa, disini yang nggak tau rencananya cuma aku sama Ify.

"Tanya sama Alvin, Vi," ujar ayah.

"Sudah, ayo orang tua jangan ganggu urusan anak muda," Tante Zahra mengajak para orang tua untuk minum teh di halaman belakang.

"Mas Alvin, jelasin semuanya!" tuntutku.

"Aku aja bingung mau jelasin darimana," ujar Alvin.

"Vi, kamu suka sama Alvin sejak kapan?" tanya Kak Angel.

"Nggak tau, mungkin baru setahun terakhir ini," jawabku.

Mas Alvin tertawa, "yah baru setahun. Aku udah suka sama kamu hampir sembilan tahun, dari kamu kelas tiga SD. Sekarang kamu kelas sebelas."

"Kelas tiga SD? Waktu itu lo justru mulai ngejauhin gue, Vin!" ucapku. Aku sengaja menggunakan gue-lo dan nggak memanggilnya dengan kata 'Mas' lagi.

"Alesannya itu karena yang aku tau kita saudara. Nah, saudara itu nggak boleh nikah. Waktu itu aku nggak tau kalo ternyata kita nggak ada hubungan darah. Ditambah lagi, aku sadar waktu itu kamu nggak suka sama aku. Jadi ya, aku ngejauhin kamu aja. Niatnya mau ngilangin perasaan ini, tapi malah bertahan sampe sekarang," jelasnya.

"Kenapa Mas Cakka ikut-ikutan lo suruh jauhin gue?" tanyaku lagi.

"Ya biarin aja! Kalo seorang Alvin nggak boleh deketin cewek, Cakka juga nggak boleh! Kalo Cakka deket-deket sama kamu, yang ada aku cemburu!" jawab Alvin jujur.

"Vin, gue boleh ngakak nggak?" ledekku.

"Silahkan. Ohiya, sejak kapan kamu manggil aku pake nama aja?" desisnya.

"Barusan. Kenapa? Nggak suka?" balasku.

"Suka banget, Via," Alvin tertawa.

"Terus yang waktu kejadian di basement itu, kalian sengaja atau nggak?" kali ini Ify yang bertanya.

"Sengaja lah. Gue nggak beneran ngilangin memory kamera waktu itu," jawab Alvin.

"Kejadian basement apaan?" tanya Mas Cakka.

"Mas Cakka nggak tau?" tanya Ify lagi.



"Dia emang sengaja nggak gue kasih tau, kalo gue kasih tau pasti ni anak bakalan sok pahlawan nolongin Via. Gue cuma nggak mau nanti yang dianggap pahlawan sama Via malah dia bukan gue," jelas Alvin. Kali ini aku benar-benar tertawa mendengar jawabannya.

"Ng... kenapa Mas Alvin nggak nolongin Via secara langsung aja?" lagi-lagi Ify yang bertanya.

"Nggak. Kalo tolongin secara langsung, gue takut itu cowok mati gue gebukin. Gue juga nggak bisa ngeliat Via dalam keadaan begitu, kalo sampe gue ngeliat yang ada gue langsung lari meluk dia," jelas Alvin lagi. Aku merasa wajahku memerah karena jawabannya itu.

"Kak Angel tau semua ini?" tanyaku.

"Tau, Vi. Alvin kalo mau apa-apa kan curhatnya sama aku. Kamu inget nggak waktu kamu bilang kamu sempet nangis karena Alvin, aku agak kaget. Inget?" ucap Kak Angel.

Aku mengangguk, "iya. Aku lebay banget kan sampe Kak Angel kaget gitu," gerutuku.

"Bukan! Bukan karena itu. Waktu itu aku kaget soalnya aku seneng, Via. Ternyata perasaan Alvin selama bertahun-tahun akhirnya terbalas," jelas Kak Angel.

"Kalo soal Shilla?" aku memberanikan diri untuk bertanya masalah Shilla.

"Shilla sama Alvin kan emang temenan dari kecil. Kamu tenang aja, Shilla juga udah punya pacar kok," ucap Kak Angel. Oke, aku bisa bernafas lega sekarang.

"Soal foto-foto aku di kamera sama iPadnya Alvin?"

"Koleksi pribadi, Via," ujar Alvin.

"Dasar aneh!" cibirku.

Iya, aku jatuh cinta sama orang aneh, yang egois dan agak konyol. Hahaha.

"Ternyata kalian happy ending ya," ucap Mas Cakka.

"Happy ending, happy ending! Pulang dari sini lo yang abis sama gue, Kka!" desis Alvin.

"Emang kenapa?" ujar Ify.

"Karena Jagoan ini berani banget meluk-meluk Via. Bawa Via naik gondola. Dan akhir-akhir ini ternyata si Jagoan sering godain, Via. Yang paling fatal itu yang tadi..." Alvin menajamkan pandangannya pada Cakka.

"Tadi kenapa?" Kak Angel ikut penasaran.

"Gini kak, Via itu nggak pernah nyium cowok. Nah tadi itu gue minta Via nyium gue, di depan Mas Alvin! Dan cowok pertama yang Via cium itu gue," Mas Cakka menjelaskan dengan santai lalu tawanya meledak.

"Kok mau sih Vi, nyium bangke kayak dia?" ucap Kak Angel.

"Tadi lagi main truth or dare kak, lagian Mas Cakka bawa-bawa 'kakak-adek' segala. Ya, satu-satunya kakak cowok yang care sama aku kan cuma Mas Cakka doang. Jadi aku mau," jelasku.

"Berarti gue nggak salahkan? Lagian siapa suruh Mas Alvin nggak deketin Via daridulu! Cemen sih, berani deketinnya pas Via-nya udah bertekuk lutut," ledek Mas Cakka. "Waktu ngeliat Via pelukan sama si Rio itu aja udah ngedown yah, cowok macem apa tuh," Mas Cakka semakin gencar meledek Alvin.

Hm... Alvin ngeliat waktu aku pelukan sama Rio?

"Diem lo!" desis Alvin. "Ohiya, tadi pas Via sama Cakka main truth or dare gue sempet denger deh kalo Cakka suka sama Ify. Terus bukannya Cakka mau ngajak Ify dinner ya?" ujar Alvin.

"Ohiya! Katanya Mas Cakka mau ngajak Ify dinner. Cepetan, mumpung ada orangnya!" timpalku.

Cakka hanya melirik Ify dan Ify mengangguk. Kayaknya Ify terpaksa, hahaha!

Alvin beringsut mendekatiku, "hari ini kita jadian. Bulan depan tunangan. Tujuh tahun lagi kita nikah!" bisiknya.

"HAH?! NIKAH?!"

***

END

***