Sabtu, 18 Februari 2017

Edelweis 98: Cinta Pertamaku di Putih Abu Abu!

Sekitar 3 tahun yang lalu, waktu awal gue masuk SMA, hal pertama yang bikin gue terkesan dengan SMAN 98 Jakarta adalah lingkungannya yang pewe banget! Asli, lapangannya luas, gedungnya bagus untuk ukuran SMA negeri, punya pendopo yang cukup luas untuk nongkrong + ngadem di ujung lapangan, dan yang terutama suasananya yang adem karena ada pohon beringin besar di halaman parkirnya. First impression gue buat 98 waktu itu bener-bener bagus.

Tapi, disamping suasana sekolahnya yang super juara, ada hal lain di pinggir lapangan yang lebih mencuri perhatian gue: wall climbing. Di 98 ada dua wall climbing, yang terdiri dari satu wall climbing yang tingginya setara dengan lantai 3 gedung sekolah, dan yang satunya lagi tingginya setara lantai 2 gedung sekolah. Wall climbing itu warna biru muda, dengan tulisan ‘EDELWEIS 98’ besar-besar.

wall climbing tiga tahun lalu. masih cuma dua, dan masih biru.
sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP6zLgQ2KiP-5G9GYXDL2b3tdCvTAcb6txx2egWhCF75iA810UxlYKvZkpmB4aG2b1EAq-DAKGl0WQaVFUY7epvV2uYCTAGgK39hrIbM3Z5PfysvQ1fXyhpbebUQHcm3AhXKpnfQWGCJQ/s1600/256730_239837182694517_100000047102652_984202_6840105_o.jpg


Wall climbing itu benar-benar berhasil menarik perhatian para murid baru sewaktu expo ekstrakulikuler, karena menampilkan kakak-kakak kelas yang berbaju hitam-hitam melompat dari ketinggian sekitar 15 meter dan berhasil membuat sebagian besar dari kami menjerit ngeri. Tapi justru, mereka yang melompat terlihat tenang-tenang aja. Dan itu keren banget! Saking kerennya, seolah-olah kayak menghipnotis gue buat dateng ke standnya, emang lebay sih tapi serius beneran kayak gitu hahaha. Padahal temen-temen gue nggak ada yang tertarik ikut ekskul ekstrim kayak gitu sama sekali. Tapi gue nggak peduli, nggak pa-pa di awal belum kenal siapa-siapa, nanti juga dapet temen kok.

Gue juga sempet bercanda ke temen gue, tentang anak-anak pecinta alam yang identik pake baju hitam. Gue bilang: “Kayaknya gue cocok masuk pecinta alam, baju gue kan nyaris hitam semua.” Waktu itu, temen gue nggak terlalu nanggepin serius. Tapi ternyata omongan gue terbukti! Baju hitam tuh emang dresscode wajib buat Edelweis, dan gue nggak perlu susah-susah cari baju hitam setiap ada acara karena gue punya bejibun! Hahaha.

Si biru besar itu yang akhirnya membawa gue ada di Edelweis sampe detik ini. Si biru besar yang belakangan ini baru gue tau kalo ternyata yang membangun wall climbing itu ya anak-anak Edelweis sendiri sekitar enam belas tahun lalu kalo nggak salah, dan dibantu sama guru-guru berjasa yang mendirikan Edelweis 98, pake dana pribadi bukan dari sekolah. Jadi bagian dari Edelweis 98 emang bukan sesuatu yang selalu enak. Hidup kami nggak hanya main, nanjak, ngumpul, dan little things lainnya. Di Edelweis kami diajarkan tanggung jawab, berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah, persaudaraan, kepedulian, nggak egois, disiplin, dan masih amat sangat banyak hal positif lainnya. Dan nyaris semua orang pasti tau, kalo belajar hal-hal di atas nggak gampang sama sekali.

Di tahun pertama, buat gue yang waktu itu baru 14 tahun, jadi calon anggota (caang) di Edelweis itu bener-bener nggak gampang sama sekali. Fisik dan mental amat sangat dituntut disini, efeknya seleksi alam yang ada jadi amat sangat ketat. Nggak sedikit yang nggak kuat dan akhirnya keluar dari Edelweis. Waktu awal masuk, angkatan gue (ang 26) jumlahnya ada 33 orang di Edelweis. Tapi pas masa caang selesai, kami diklat dan resmi jadi anggota, angkatan gue tersisa 13 orang. Iya, 20 orang gugur.

Padahal menurut gue, fisik dan mental itu manfaatnya banyak dan udah gue rasain sendiri kok. Namanya juga pecinta alam, kegiatannya di alam dan alam itu nggak pandang bulu, coy! Dia nggak peduli apakah kita kuat atau lemah buat menghadapi dia, kalo dia mau ngehajar ya hajar. Misalnya ketika kita naik gunung, kita harus tau dulu kalau gunung itu bukan mall. Dia nggak punya eskalator, apalagi lift. Selandai apapun trek pendakian suatu gunung, nggak akan selandai jembatan dari PIM 1 ke PIM 2. Kita tetep butuh usaha, fisik yang kuat dan terlatih. Apalagi kalo kita naik gunung sekelas Gunung Cikuray yang pendakiannya dengkul ketemu dada alias manjat tanah sama akar, beuhhh! Kalo nggak latihan fisik, copot tuh jantung. Alam tuh nggak bisa kasih kita ampun, coy. Dia nggak kayak treadmill yang kecepatannya bisa kita tambah atau kurangin seenaknya.

Dan mental, ini juga amat sangat pentiiing! Kalo mental kita cemen, kelar deh kita di alam. Ada yang nggak enak dikit, ngeluh. Apa-apa ngeluh. Nggak bikin masalah kelar malah bikin orang-orang sekitar kita kesel. Ketika mental kita siap dan terlatih, otak kita bakal lebih cepat ketika menyelesaikan masalah yang ada karena kita juga jadi lebih tenang kalo menghadapi sesuatu yang nggak beres. Kayak misalnya pas lagi pendakian tiba-tiba kena badai, kalo mentalnya lemah pasti udah ketakutan dan nangis mojok di tenda. Tapi kalo mental kita kuat, kita bisa aja justru jadi menyiapkan antisipasi-antisipasi supaya efek badai itu nggak terlalu parah buat kita, atau bisa juga berpikir tenang buat ambil keputusan untuk lanjut pendakian atau turun aja.

Gue udah membuktikan sendiri hal-hal di atas tadi. Fisik dan mental yang seimbang emang penting banget. Kalo kita cuma punya mental yang kuat tapi fisik kita lemah, jelas susah karena fisik kita bisa kenapa-napa nantinya. Apalagi kalo kita cuma punya fisik yang kuat tapi mental kita lemah, itu jelas percuma menurut gue karena mental kita yang lemah itu bisa bikin kita jadi sugesti diri kita sendiri bahwa kita nggak kuat, kita bawaannya ngeluuuh terus, nggak semangat padahal sebenernya sih fisiknya kuat. Cuma gara-gara mentalnya cemen aja jadi bisa seolah-olah lemah gitu, dikit-dikit ngeluh. Pokoknya, fisik dan mental di kegiatan pecinta alam dibutuhin banget deh!

Ada lagi satu hal yang juga amat sangat penting di pecinta alam: ilmu! Iya, jelas. Ilmu itu emang penting dimana-mana. Cuma terkadang pas jaman caang tuh ada aja orang yang males-malesan kalo agenda forumnya tuh materi hahaha. Pas lagi diajarin materi suka nggak nyimak, atau bahkan nggak dateng. Padahal pengetahuan dasar tentang alam tuh jelas penting banget. Misalnya survival deh salah satu aja ya. Kalo (amit-amit) kita nyasar di hutan, ilmu survival ini bakal berguna banget karena kita bakalan tau hal apa aja yang mestinya kita lakuin. Makanan apa aja yang bisa kita makan dan yang nggak bisa kita makan di hutan, bagaimana caranya bisa mendapatkan air, daaaan masih banyak lagi! Atau misalnya pengetahuan tentang penyakit-penyakit gunung, kalo ngerti kan kita jadi bisa kasih penanganan yang tepat kalo ada yang sakit. Terus materi tentang navigasi, pertolongan pertama gawat darurat, resusitasi jantung & paru-paru (CPR), dan masih bejibun materi lainnya. Coba kalo nggak punya ilmu? Modal mental dan fisik doang nggak bisa kita andalkan buat menyelamatkan diri kalo ada apa-apa di alam.

Balik lagi ke pengalaman gue di Edelweis, masa caang yang berlangsung selama 8 bulan itu nggak selalu mulus. Masalahnya banyaaaaak banget! Mulai dari masalah sama angkatan sendiri gara-gara banyak yang cabut-cabutan, ada juga yang cinlok di sesama angkatan, pernah ada yang kubu-kubuan juga dan beragam masalah anak kelas satu SMA yang baru belajar organisasi lainnya. Ada juga masalah sama kakak abang kami, sampe dulu setiap ketemu angkatan atas rasanya mau jambak aja! Hahaha nggak deng, nggak semua kayak gitu, ehe. Tapi, semua masalah super nyebelin itu ternyata ada hikmahnya: angkatan gue menyatu. Secara nggak sadar, masalah-masalah yang kami hadapi itu bikin kami saling terbuka dan akhirnya kenal satu sama lain, jadi diantara kami udah nggak ada jaim-jaiman sama sekali. Angkatan kami juga semakin nyatu karena ketika kami punya masalah yang sama, kami mau nggak mau bareng-bareng berpikir dan diskusi untuk menyelesaikan masalah itu.

Tapi, hal yang paliiiiing nyebelin selama masa caang justru datangnya dari eksternal Edelweis. Dari omongan anak-anak umum yang selalu anggap kami itu negatif. Stereotype mereka udah terlanjur jelek ke kami, dan itu amat sangat nyebelin! Titik didih gue sebelum meledak itu ketika ada orang yang menyebut latihan fisik di Edelweis itu ‘penyiksaan’. Sadis. Kalo ekskul lain lari, push up, dan lain-lain di lapangan mereka sebut latihan fisik/olahraga. Tapi ketika kami yang melakukan itu, mereka sebut itu ‘disiksa’. Waktu gue caang, sering banget gue denger anak umum bilang ‘mau aja sih lo dibego-begoin’. Kata-kata kayak gitu biasanya muncul dari orang yang emang nggak suka sama kami dari dulu, atau bisa juga berasal dari orang-orang yang mau menghasut salah satu dari kami untuk keluar dari Edelweis. Tapi, ya udah lah ya, seleksi alam hahaha.

Padahal kalo gue denger cerita dari alumni-alumni yang jaraknya lumayan jauh di atas gue, mereka sering bilang kalo dulu Edelweis itu disegani. Karena zaman mereka itu, yang namanya naik gunung nggak segampang sekarang, nggak sembarangan orang yang mampu untuk naik gunung. Jadi, istilahnya ya mereka dianggap sebagai ‘bukan orang sembarangan’, nggak ada yang berani ngelawan. Bukan cuma sesama murid, tapi dulu pihak sekolah juga selalu bisa bekerjasama dengan baik sama Edelweis, itu dulu. Seriiiiing banget gue denger cerita semacam itu, cerita kejayaan Edelweis, sebelum gerak kami dibatasi aturan-aturan ketat dari sekolah seperti sekarang.

Lanjut ke masa-masa jadi anggota yang berlangsung nggak terlalu lama. Diisi dengan mengenal Edelweis lebih dalam lagi, terutama tentang keorganisasiannya. Karena di tahap ini, kita bakal dipersiapkan sebagai pengurus Edelweis selanjutnya. Menurut gue, masa-masa ini adalah masa paling tenang selama gue di Edelweis karena minim konflik hahaha. Nyaris nggak ada masalah sama sekali! Kami juga mulai berdamai dengan angkatan atas, karena setelah ini kami bakal bekerjasama sebagai pengurus dan pengawas buat mendidik caang selanjutnya.

Nah! Pas mulai masuk ke kepengurusan.......... jeng-jeng! Akhirnya gue ngerasain dan mengerti apa yang kakak abang gue dulu rasain! Iya, akhirnya gue bener-bener ngerti alasan mereka punya aturan ini itu selama angkatan gue caang dulu. Di masa ini, fisik nggak terlalu dituntut lagi. Yang paling paling paling dituntut adalah otak. Otak kita harus kerja, harus dipake untuk berpikir! Emang kedengerannya malesin kalo disuruh mikir terus, tapi kita punya kebanggaan tersendiri karena nasib organisasi besar ini sekarang ada di pundak kita. Kita dipercaya untuk melanjutkan organisasi ini. Dan secara otomatis kita bakal mengerahkan ide-ide dan pikiran-pikiran terbaik kita demi kelangsungan organisasi ini. Hal itu bakal bikin kita semakin terlatih untuk menyelesaikan masalah-masalah, dan mental kita jelas bakal semakin kuat. Yang terpenting, tenang aja karena kita nggak sendiri. Kita punya sodara-sodara di angkatan kita yang bakal bareng-bareng menghadapi semuanya sama kita, dan kita juga punya banyak kakak abang yang siap sedia untuk membantu kita.



Ketika naik ke kelas 12, tanggung jawab kita berubah lagi jadi pengawas. Disini yang dituntut adalah loyalitas. Ketika kami udah harus memikirkan masa depan, harus fokus belajar untuk masuk perguruan tinggi, kami tetap punya tanggung jawab di Edelweis. Kalo kami nggak punya loyalitas, pasti kami bakal lepas tangan dan lebih memilih untuk mikirin diri sendiri aja. Lagipula, tugas pengawas nggak susah kok. Sama seperti namanya: pengawas, ya tugasnya cuma mengawasi aja. Jadi keterlaluan kalo sampe lepas tangan, ehehe. Dan yang terpenting, angkatan gue juga udah membuktikan kalo aktif di Edelweis nggak bikin kami lepas tanggung jawab dari urusan lanjut kuliah. 70% dari ang 26-nya Edelweis masuk PTN, dan sisa lainnya emang memutuskan untuk lanjut masa depannya lewat jalan lain. :p

Btw, berat badan gue turun lebih dari 10kg selama gue kelas 10. Emang sih, faktor berat badan gue turun itu bukan cuma karena ikut Edelweis yang sering latihan fisik itu, tapi juga karena dulu gue ikut OSIS yang bikin tenaga dan pikiran gue terkuras Senin-Jumat (padahal gue sering cabut, jangan ditiru ya) hahaha. Gue nggak ngerasa itu sebagai kerugian sih, kan lumayan gue nggak perlu diet-diet ribet gitu..... lumayan banget kan?

Itu baru beberapa hal kecil yang gue dapet dari Edelweis. Masih banyaaaaaakkkk banget yang sebenernya bisa diceritain. Gue nggak pernah tau gimana gue harus mendeskripsikan Edelweis. Gue cinta banget sama organisasi ini, keluarga ini. Buat gue, Edelweis adalah tempat untuk pulang. Sejauh apapun kita pergi, ketika kita kembali lagi hal pertama yang bakal kita cari ya sodara-sodara kita di Edelweis.

Ah, itu gambaran wall climbing sekitar 3 tahun yang lalu, 2013. Kalo sekarang, wall climbing itu sudah bertambah satu dengan ukuran tinggi yang setara dengan lantai 2 sekolah. Warnanya berubah jadi hijau tua... dan sudah tidak ada tulisan ‘EDELWEIS 98’ yang besar lagi disana. Satu-satunya penanda bahwa wall climbing itu ‘milik’ Edelweis adalah logo organisasi itu yang masih ada di salah satu sisinya. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memberitahu orang-orang bahwa wall climbing itu merupakan bagian dari kami, Edelweis 98. Mungkin nasib wall climbing itu sama seperti orang-orang di dalam organisasi ini. Dulu kami punya nama besar yang terpampang nyata di depan orang-orang. Tapi kini, nama besar itu mulai terkikis... yang tersisa hanya persaudaraan kami yang masih erat, dan semoga tidak akan terkikis. Seperti logo organisasi ini yang masih bertahan menghiasi wall climbing, meskipun tulisan nama kami telah hilang.


Sebagian kecil dari Edelweis 98. Bener-bener sebagian kecil, cuma perwakilan beberapa angkatan.
Kalo digabung dari angkatan pertama sampe sekarang entah ada berapa ratus orang. :')


Ayo, bangun, Edelweis-ku. Jangan layu. Jangan sampai arti namamu tidak memiliki makna apa-apa. Kamu harus bertahan. Kamu harus abadi. Seperti bunga-bunga Edelweis di Alun-Alun Surya Kencana yang terus bertahan meski diterjang badai hebat.

Tiada yang bisa menghalangi kami
Tiada bisa meredam kami
Persaudaraan kami terus abadi
Karena kami Edelweis 98!

xoxo,

Sendal 2017.